Oleh : Redaksi Metrosulsel.con I 2025
OPINI — Di tengah riuh budaya pop dan tayangan hiburan global, muncul satu simbol yang diam-diam mengguncang kesadaran kolektif: bendera bajak laut Kru Topi Jerami dari serial One Piece. Tengkorak tersenyum dengan topi jerami, yang sepintas tampak seperti ikon fiksi anak muda, ternyata membawa makna politis yang jauh lebih dalam, bahkan relevan dengan kondisi Indonesia hari ini.
Bendera ini bukan sekadar atribut kartun. Ia mewakili pemberontakan terhadap ketidakadilan, identitas moral, dan keberanian melawan struktur kekuasaan yang korup dan menindas. Di dunia One Piece, Luffy dan krunya tak segan melawan Pemerintah Dunia, organisasi global yang membungkus penindasan dengan narasi legalitas dan stabilitas. Bukankah ini terasa akrab dalam konteks politik nasional kita?
Ketika masyarakat menghadapi praktik kekuasaan yang dipenuhi konflik kepentingan, ekspansi korporasi atas nama pembangunan, penggusuran rakyat kecil, dan pembiaran atas kerusakan lingkungan oleh tambang-tambang ilegal, simbol seperti Topi Jerami justru menjadi lambang alternatif: bahwa keberanian untuk berkata “tidak” itu penting, bahkan meski berhadapan dengan struktur raksasa yang kelihatan tak tergoyahkan.
Luffy tak lahir dari elite. Ia bukan pewaris kekuasaan. Ia anak muda dengan mimpi besar dan kompas moral yang jelas. Ia merekrut mereka yang sering dianggap remeh, seorang penembak lemah seperti Usopp, seorang koki berandalan seperti Sanji, seorang penyendiri seperti Robin. Tapi dari merekalah lahir kekuatan: kekuatan rakyat biasa yang bersatu karena nilai, bukan karena transaksionalitas.
Itulah tamparan keras bagi realitas politik kita hari ini, yang semakin kehilangan arah ideologis dan cenderung menjadi teater pencitraan serta kompromi elite. Di tengah frustrasi publik terhadap demokrasi prosedural yang timpang, bendera Topi Jerami berbicara tentang integritas, bukan jabatan; tentang impian, bukan kursi kekuasaan.
Simbol ini menjadi refleksi dan sekaligus teguran: Apakah kita masih punya semangat untuk membela yang tertindas?
Ataukah kita telah menjadi bagian dari sistem yang menertawakan perlawanan rakyat kecil?
Bendera Topi Jerami tidak hanya berkibar di layar, ia berkibar dalam benak generasi yang muak pada kemapanan, muak pada ketimpangan, dan menolak tunduk pada kekuasaan yang kehilangan nurani.
Dan itu yang paling ditakuti oleh kekuasaan: Ketika imajinasi berubah menjadi keberanian. Ketika simbol berubah menjadi senjata. Ketika tawa bajak laut menjadi suara rakyat.
JUM