MAROS – Dugaan pungutan liar (pungli) dalam penerbitan Surat Keterangan Pelepasan Hak Garapan di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros, makin menyeruak. Warga atas nama Hamriana mengaku diminta menyetor Rp8 juta agar proses peralihan hak garapan bisa dipenuhi.
Informasi ini awalnya beredar melalui unggahan akun Facebook Irwan Irwan yang mengungkap adanya pungutan tidak resmi dalam penerbitan surat tersebut. Sejumlah pihak kemudian angkat bicara, termasuk lurah dan camat setempat.
Lurah dan Camat Membantah
Kepala Kelurahan Borong, Sunarti, mengaku telah memanggil Kepala Lingkungan II Dulang, HN, untuk menyelesaikan persoalan pungutan itu.
“Saya sama sekali tidak tahu menahu soal pungutan itu dan masalahnya telah selesai,” kata Sunarti saat dihubungi, Jumat (3/10).
Hal senada disampaikan Camat Tanralili, Sudarmin, yang menegaskan tidak mengetahui soal pungutan dana tersebut.
Pengakuan Terbuka di Kantor Lurah
Namun ironisnya, dalam pertemuan di Kantor Lurah Borong pada Jumat (3/9), Hamriana secara terbuka membenarkan adanya setoran Rp8 juta. Di hadapan lurah, HN selaku kepala lingkungan mengakui telah menerima uang itu.
HN juga mengakui dana tersebut dibagikan kepada para pihak yang menandatangani surat, termasuk lurah dan camat.
“Saya setor sesuai aturan, padahal tidak tahu menahu, hanya karena keterpaksaan. Belakangan saya tahu kalau surat itu bermasalah, jadi saya minta uang saya dikembalikan,” kata Hamriana.
Kepala Lingkungan Tolak Kembalikan Dana
Meski demikian, HN menolak mengembalikan uang Rp8 juta itu dengan alasan tidak ada unsur paksaan.
“Saya memang meminta, tapi bukan memaksa. Pemberi dana pun memberikan dengan sukarela, tanpa paksaan,” ujar HN dalam pertemuan tersebut.
Surat Bermasalah, Tak Bisa Naik ke Sertifikat
Masalah kian rumit karena Surat Keterangan Pelepasan Hak Garapan yang diterbitkan ternyata menggunakan NJOP berbeda dengan objek tanah. Akibatnya, surat itu tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk meningkatkan status tanah menjadi Sertifikat Hak Milik.
Potensi Pelanggaran Hukum
Praktik pungutan ini dipertanyakan keabsahannya, sebab tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan lurah maupun camat memungut biaya jutaan rupiah dalam penerbitan surat garapan.
Jika benar dana tersebut dibagi ke pihak yang menandatangani dokumen, maka ada potensi pelanggaran hukum, baik dari sisi administrasi pemerintahan maupun pidana korupsi/pungli, sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, KUHP Pasal 423, dan PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
Warga Menunggu Tindak Lanjut
Hingga kini, warga menanti langkah tegas aparat penegak hukum atas dugaan pungli yang menyeret nama lurah dan camat. Kasus ini dinilai mencederai pelayanan publik dan menambah daftar panjang praktik pungutan liar dalam birokrasi desa/kelurahan.
HAMZAN / JUM























