MAKASSAR — Polemik proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Tamalanrea terus bergulir. Setelah mendukung aksi warga yang menolak pembangunan di Kelurahan Bira, Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin (Appi) kini menegaskan bahwa perencanaan proyek tersebut merupakan peninggalan dari pejabat wali kota sebelumnya, yakni Moh. Ramdhan “Danny” Pomanto.
Proyek berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) ini mengalokasikan anggaran sekitar Rp3 triliun dan telah dimenangkan oleh PT Sumber Utama Sejahtera (PT SUS). Namun, kini proyek itu kembali digugat publik karena dinilai salah lokasi dan berpotensi mencemari lingkungan serta mengganggu kesehatan warga sekitar.
Munafri mengaku, sejak dirinya menjabat, seluruh proses hukum dan administrasi proyek sudah berjalan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) terbaru, termasuk penetapan pemenang tender.
“Proyek ini direncanakan oleh pejabat wali kota sebelum saya. Setelah saya menjabat, Perpres terbaru hingga penetapan pemenang tender sudah ada. Jadi, ini masalah yang ditinggalkan dan sekarang kami yang harus hadapi,” ujar Munafri di Balai Kota Makassar, Rabu (21/10/2025).
Munafri juga menegaskan bahwa pihaknya sepakat proyek PLTSa lebih tepat ditempatkan di kawasan TPA Antang, Kecamatan Manggala, yang memang sejak lama berfungsi sebagai lokasi pembuangan akhir.
“Saya sepakat kalau proyek ini dipindahkan ke TPA Antang. Di sanalah tempat yang paling logis untuk pengelolaan sampah. Kalau dipaksakan di Tamalanrea, jelas akan menimbulkan konflik sosial dan dampak lingkungan,” tambahnya.
Pernyataan itu disampaikan Munafri saat menerima audiensi Aliansi Gerakan Masyarakat Menolak PLTSa (GERAM PLTSa) di Kantor Balai Kota. Dalam pertemuan itu, warga mendesak pemerintah agar tidak hanya melakukan kajian ulang, tetapi juga mencabut rekomendasi awal lokasi di Tamalanrea yang ditetapkan di masa pemerintahan sebelumnya.
Koordinator GERAM PLTSa, H. Akbar, menegaskan bahwa rencana lokasi PLTSa di Bira adalah hasil keputusan sepihak era Danny Pomanto. Ia menuding ada indikasi politik bisnis bergaya kapitalis yang bermain di balik penentuan lokasi tersebut.
“Kalau proyek ini tetap dipaksakan, kami curiga ada kepentingan bisnis yang lebih besar daripada kepentingan rakyat. Jangan jadikan warga Tamalanrea kelinci percobaan kebijakan salah arah,” ujarnya.
Proyek bernilai triliunan rupiah ini dinilai banyak pihak tidak realistis secara teknis. Volume sampah Kota Makassar saat ini hanya sekitar 1.000 ton per hari, dengan sampah non-organik yang dapat dibakar hanya 500 ton. Sementara kapasitas PLTSa yang dirancang mencapai 1.300 ton per hari, menimbulkan tanda tanya besar soal sumber pasokan sampah tambahan.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulsel, Erwin, menegaskan bahwa DLH tidak akan memproses izin lingkungan tanpa ada kejelasan penetapan lokasi dari pemerintah kota.
“Kalau lokasi belum jelas dan berpotensi menimbulkan dampak sosial, kami tidak bisa melanjutkan kajian AMDAL-nya. Itu prinsip kehati-hatian,” tegas Erwin.
Dengan pengakuan terbuka dari Wali Kota Munafri, arah proyek PLTSa Tamalanrea kini berada di persimpangan. Publik menilai, warisan kebijakan era Danny Pomanto itu menjadi beban politik dan ekologis bagi pemerintahan saat ini.
Bagi warga Tamalanrea, pernyataan Appi adalah sinyal kemenangan sementara — namun perjuangan mereka masih panjang untuk memastikan proyek kontroversial Rp3 triliun itu benar-benar dikaji ulang dan tidak dipaksakan.
JUM























