MAKASSAR — Rencana ambisius Pemerintah Kota Makassar membangun Processing Solid Energy Landfill (PSEL) dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) senilai Rp3 triliun kini nyaris tinggal wacana. Proyek yang digadang sebagai solusi modern pengelolaan sampah itu mendapat penolakan keras dari warga di sekitar lokasi rencana pembangunan, khususnya di Kelurahan Mula Baru, Tammalalang, Alamanda, dan Akasia, Kecamatan Tamalanrea.
Warga menolak karena khawatir proyek berisiko mencemari lingkungan dan mengganggu lahan pertanian produktif. Penolakan ini mencuat dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD Makassar, 13 Oktober 2025.
Dari hasil rapat tersebut, dua pandangan besar muncul di tubuh DPRD. Sebagian anggota dewan mendukung proyek ini dilanjutkan dengan alasan sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta dukungan pendanaan dari APBD. Namun sebagian lainnya menilai proyek ini tidak layak karena dapat merusak ekosistem dan mengancam ketahanan pangan masyarakat sekitar.
Padahal, sejak 2021, Pemkot Makassar telah menyiapkan serangkaian dokumen pendukung untuk proyek ini. Mulai dari Feasibility Study 2021, Buku 1A-2B Studi Terdahulu hingga Studi Kemampuan Bayar, seluruhnya disusun oleh CNTCI sebagai dasar pelaksanaan proyek PSEL dan PLTSA yang dirancang mengikuti Program Strategis Nasional bidang pengelolaan sampah berbasis teknologi modern.
Namun, hampir lima tahun berlalu sejak Peraturan Wali Kota (Perwali) Makassar Nomor 1 Tahun 2021 ditandatangani oleh Penjabat Wali Kota Rudy Djamaluddin pada 22 Januari 2021, proyek yang disebut “ramah lingkungan” itu belum juga terealisasi.
Wali Kota Makassar saat ini bahkan mulai bersikap hati-hati. “Kalau investasi ini justru merugikan masyarakat, lebih baik tidak dilanjutkan,” ujarnya dalam kesempatan terpisah.
Sementara itu, Pemkot disebut masih menunggu revisi Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 sebagai dasar hukum pelaksanaan proyek. Namun hingga kini, revisi tersebut tak kunjung rampung.
Di tengah ketidakpastian itu, warga hanya bisa berharap agar proyek tak menjadi beban baru bagi lingkungan dan kehidupan mereka. Sebaliknya, publik kini mulai menilai, proyek raksasa bernilai triliunan rupiah itu perlahan berubah menjadi sekadar angan-angan indah di atas tumpukan sampah kota.
SYUKRI























