MAKASSAR — Di balik rimbunnya hutan pinus di lereng Malino dan Camba, tersimpan sumber ekonomi bernilai miliaran rupiah setiap tahun. Namun potensi besar itu belum sepenuhnya mengalir menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD), meski ribuan petani dan lembaga pengelola hutan telah bertahun-tahun menyadap getah pinus di wilayah ini.
Data yang dihimpun dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan dan sumber teknis KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) menunjukkan, total luas hutan pinus di dua kabupaten ini mencapai sekitar 16.800 hektar, terdiri atas ±12.000 hektar di Kabupaten Gowa dan ±4.800 hektar di Kabupaten Maros. Kawasan ini dikelola oleh KPH Jeneberang I–II (wilayah Gowa) serta KPH Camba (wilayah Maros), bekerja sama dengan kelompok masyarakat seperti LMDH dan KTH (Kelompok Tani Hutan).
Produksi: 4.000–5.000 ton per tahun
Secara rata-rata, setiap hektar hutan pinus di Sulawesi Selatan menghasilkan 250–350 kilogram getah pinus per tahun. Dengan harga jual di tingkat petani antara Rp7.000–Rp9.000 per kilogram (basah), nilai ekonomi total dari dua kabupaten ini diperkirakan mencapai Rp37–52 miliar per tahun.
Namun, di tingkat petani, pendapatan bersih yang diterima masih berkisar Rp1,5–2 juta per hektar per tahun. Sebagian besar keuntungan mengalir ke rantai distribusi berikutnya: koperasi, pengelola, dan pembeli industri.
Negara Dapat, Daerah Dapat Tapi Tak Seimbang
Hasil getah pinus dikategorikan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Berdasarkan PP No. 12 Tahun 2014 dan PP No. 33 Tahun 2014, hasil penjualan wajib dikenai Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi pemerintah pusat.
Sementara itu, daerah hanya berhak atas sebagian kecil pendapatan dari: Retribusi izin pemanfaatan hasil hutan (melalui Perda Provinsi Sulsel No. 2/2021),
Pajak daerah dari perdagangan hasil pinus, Bagi hasil PNBP kehutanan sesuai mekanisme UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Dan kerja sama KPH–LMDH yang hasilnya masuk PAD sebagai jasa usaha kehutanan.
Laporan Dinas Kehutanan Sulsel tahun 2023 mencatat bahwa PAD dari retribusi hasil hutan bukan kayu (termasuk getah pinus, rotan, bambu, dan madu) hanya menyumbang sekitar Rp2,1 miliar per tahun, jauh di bawah nilai ekonominya yang mencapai puluhan miliar rupiah.
Potensi Besar, Penerimaan Kecil
Ketimpangan ini memunculkan pertanyaan besar: Mengapa hasil produksi bernilai miliaran rupiah itu hanya menyumbang sebagian kecil bagi kas daerah?
Beberapa faktor menjadi penyebab:
Skema bagi hasil tidak transparan, di mana petani dan KPH sering kali tidak mengetahui secara detail persentase yang disetorkan sebagai PNBP atau PAD.
Minimnya industri penyulingan lokal, sehingga getah mentah dijual ke luar daerah tanpa memberi nilai tambah ekonomi di tingkat kabupaten.
Lemahnya regulasi daerah yang mengatur pungutan dan pembagian hasil HHBK, membuat potensi pajak dan retribusi tak tergarap optimal.
Seorang pengelola kelompok tani di Malino mengatakan, “Kami menyadap setiap minggu, tapi jarang tahu berapa nilai yang masuk ke daerah. Kami hanya jual ke pengepul dengan harga standar, sementara pajak katanya diurus di atas,” ujarnya.
Kebutuhan Reformasi Tata Kelola
Pakar ekonomi kehutanan dari Universitas Hasanuddin, Dr. Jamaluddin, menilai pemerintah daerah perlu membangun model tata kelola getah pinus yang transparan dan berbasis nilai tambah lokal.
“Selama getah dijual mentah, nilai tambahnya lari ke luar daerah. Pemerintah daerah seharusnya membuat regulasi yang memastikan setiap kilogram getah memberikan kontribusi nyata ke PAD, bukan hanya lewat PNBP pusat,” katanya.
Dengan asumsi konservatif 16.800 hektar hutan produktif, potensi penerimaan yang bisa masuk ke daerah sebenarnya bisa mencapai Rp5 sampai Rp10 miliar per tahun, jika retribusi dan pajak lokal dikelola optimal.
Getah pinus di Gowa dan Maros sejatinya adalah “emas bening” dari hutan Sulawesi Selatan. Potensinya nyata 5.000 ton per tahun dengan nilai ekonomi hingga Rp50 miliar. Namun, tanpa tata kelola fiskal yang adil, sebagian besar manfaatnya akan terus terserap oleh pihak di luar daerah.
Sudah saatnya pemerintah provinsi dan kabupaten memperkuat regulasi dan transparansi agar getah pinus bukan hanya menjadi sumber penghidupan bagi petani, tapi juga sumber nyata peningkatan PAD dan kesejahteraan daerah.
JUM























