MAROS, metrosulsel.com — Hingga Maret 2025, PT Bosowa Semen Maros tercatat masih menunggak pajak daerah senilai fantastis, diperkirakan mencapai Rp 41 miliar. Namun hingga kini, belum ada kejelasan terkait upaya pelunasan utang tersebut. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maros pun dinilai lamban dan tidak menunjukkan ketegasan dalam menangani kasus ini.
Menurut catatan berbagai sumber, tunggakan pajak Bosowa berada di kisaran Rp 35 hingga Rp 41 miliar, tergantung klasifikasi jenis pajak yang dihitung. Pajak yang belum dibayarkan ini meliputi pajak mineral bukan logam dan batuan, serta pajak kendaraan alat berat, yang telah menumpuk sejak beberapa tahun terakhir.
Yang menjadi sorotan, meski batas waktu teguran resmi telah berlalu, Pemkab Maros belum mengambil langkah tegas melalui mekanisme penagihan aktif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP). Hingga kini, belum terlihat adanya upaya penyitaan aset maupun pemblokiran aktivitas perusahaan sebagai bentuk sanksi administratif.
Situasi ini memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Lembaga Pemerhati Hukum dan Lingkungan Hidup (PHLH). Lembaga ini mendesak Pemkab Maros untuk segera mengambil tindakan konkret. Bahkan, jika tidak ada langkah nyata dalam waktu dekat, PHLH mengancam akan membawa persoalan ini ke Kejaksaan Negeri Maros, agar diproses sebagai bentuk kelalaian dalam pengelolaan pajak daerah.
“Kalau aparat daerah tidak berani menindak wajib pajak besar seperti Bosowa, bagaimana dengan wajib pajak kecil? Ini bentuk ketidakadilan dan potensi pelanggaran prinsip tata kelola pemerintahan,” ujar salah satu perwakilan PHLH dalam keterangan pers Maret 2025 lalu.
Sementara itu, pihak Bosowa belum memberikan pernyataan resmi. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada informasi publik terkait pelunasan, baik sebagian maupun seluruh tunggakan pajak tersebut. Hal ini memicu pertanyaan publik mengenai transparansi dan komitmen Bosowa Semen terhadap kewajiban fiskal di wilayah operasinya.
Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Maros serta DPRD Kabupaten Maros pun turut menjadi sorotan. Mereka dianggap terlalu pasif dan tidak responsif terhadap berbagai desakan masyarakat. Surat permintaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diajukan kelompok masyarakat sipil sejak Januari 2025 juga belum direspons.
Sejumlah pakar hukum pajak menyatakan bahwa Pemkab Maros seharusnya sudah menerbitkan Surat Paksa (PPSP) untuk membuka jalan penegakan hukum, termasuk penyitaan aset atau pencabutan izin operasional Bosowa Semen jika tidak segera membayar. Pendampingan hukum dari Kejaksaan Negeri sebagai Jaksa Pengacara Negara juga bisa diberdayakan untuk memperkuat posisi Pemda.
Transparansi publik juga dinilai sangat krusial. Masyarakat berhak mengetahui secara terbuka berapa total tunggakan pajak, berapa yang telah dibayar (jika ada), dan bagaimana perkembangan proses penagihan. Tanpa keterbukaan, Pemkab Maros rentan dicurigai melakukan pembiaran atau bahkan kompromi tidak sehat dengan korporasi besar.
Bosowa Semen telah lebih dari satu dekade beroperasi sebagai pemain dominan di industri semen Sulawesi Selatan. Namun ironisnya, kontribusi fiskalnya justru kini menjadi beban daerah. Dengan tunggakan yang belum tersentuh upaya hukum tegas, kasus ini menjadi ujian serius terhadap integritas dan kewibawaan Pemkab Maros.
Aktivis LEMKIRA Indonesia, Ismail Tantu, menilai masalah ini bukanlah hal baru. “Persoalan pajak Bosowa ini sudah berulang kali kami soroti setiap tahun. Tapi, Pemkab Maros seolah tak berdaya, atau bahkan bisa dikatakan masa bodoh. Buktinya, tidak ada langkah konkret dan tegas yang dilakukan untuk mendesak Bosowa menyelesaikan kewajibannya,” tegas Ismail.
Reporter: Redaksi Metrosulsel
Editor: Jumadi
Sumber: Bapenda Maros, PHLH, Arsip Pajak Daerah, Pernyataan Publik