JAKARTA — Aksi solidaritas jurnalis kembali menggema di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/11). Puluhan jurnalis dari berbagai media bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menegaskan dukungan penuh kepada Tempo yang sedang digugat Menteri Pertanian Amran Sulaiman sebesar Rp200 miliar. Gugatan fantastis itu dianggap sebagai bentuk nyata dari upaya pembungkaman media dan ancaman terhadap kebebasan pers.
Gugatan ini bermula dari laporan investigatif Tempo berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” yang mengkritisi kebijakan penyerapan gabah oleh Bulog melalui skema any quality. Kebijakan itu disebut membuat petani terpaksa menyiram gabah berkualitas baik agar lebih berat, hingga menyebabkan banyak gabah membusuk di gudang Bulog — dan ironisnya, fakta kerusakan itu diakui sendiri oleh Menteri Amran.
Namun alih-alih menggunakan mekanisme penyelesaian di Dewan Pers, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Amran justru memilih jalur pengadilan umum dan menuntut ganti rugi triliunan rupiah terhadap media pengkritiknya. Langkah ini oleh banyak pihak dinilai sebagai bentuk tekanan politik dan preseden buruk bagi kemerdekaan pers di Indonesia.
AJI: Gugatan Rp200 Miliar Bentuk Upaya Pembungkaman
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, menyebut gugatan tersebut bukan sekadar salah alamat, tapi juga berbahaya bagi demokrasi.
“Gugatan sebesar Rp200 miliar ini adalah bentuk upaya pembungkaman dan pembangkrutan media. Hari ini Tempo yang digugat, besok bisa media mana saja yang kritis terhadap pemerintah,” tegasnya dalam orasi di depan pengadilan.
AJI menegaskan bahwa sengketa pemberitaan hanya bisa diselesaikan lewat hak jawab, hak koreksi, atau mediasi Dewan Pers. Membawa kasus ke pengadilan umum sama artinya dengan mengabaikan Undang-Undang Pers dan menghidupkan kembali kultur represi terhadap jurnalisme independen.
LBH Pers: Gugatan Tak Masuk Akal, Langgar Putusan MK
Senada dengan AJI, Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong menilai langkah Amran sebagai “tidak masuk akal dan cacat hukum.”
Ia menegaskan bahwa pejabat publik justru wajib menerima kritik sebagai bagian dari fungsi kontrol media.
“Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII-2024, tuduhan pencemaran nama baik tidak bisa diajukan oleh lembaga pemerintah. Maka aneh jika seorang menteri menggugat media dengan dalih mencemarkan nama kementerian,” ujarnya.
Mustafa juga menyoroti adanya indikasi penyalahgunaan kewenangan pejabat publik untuk membungkam jurnalisme investigatif, sesuatu yang semakin sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Dewan Pers Sudah Menyelesaikan, Tapi Amran Tetap Menggugat
Padahal, kasus ini sebenarnya sudah tuntas di Dewan Pers. Lembaga itu memang menilai Tempo sempat melanggar Kode Etik Jurnalistik pada aspek akurasi dan diksi, dan Tempo telah memenuhi seluruh rekomendasi koreksi dalam waktu 2×24 jam.
Namun, Amran tetap melanjutkan gugatan ke pengadilan dengan nomor perkara 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL, menuding Tempo masih merugikan citra dirinya dan Kementerian Pertanian.
Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah gugatan ini untuk menegakkan kebenaran atau untuk menakut-nakuti media yang berani menulis hal yang tidak menyenangkan bagi pejabat negara?
AJI Jakarta: Jangan Rusak Marwah Pengadilan
Ketua AJI Jakarta Irsyan Hasyim mendesak agar majelis hakim menolak gugatan ini sejak awal.
“Jika pengadilan melanjutkan perkara ini, maka pengadilan telah merusak marwahnya sendiri. Sengketa pers harus diselesaikan di Dewan Pers, bukan di meja sidang perdata,” ujarnya lantang.
Ujian Serius bagi Demokrasi
Kasus ini menjadi ujian serius bagi sistem hukum dan demokrasi di Indonesia. Bila gugatan semacam ini dikabulkan, bukan hanya Tempo yang terancam — tetapi seluruh media dan jurnalis yang masih berani menulis kebenaran di tengah kekuasaan.
AJI, LBH Pers, dan masyarakat sipil kini menunggu langkah hakim: apakah hukum berpihak pada kepentingan publik dan kebebasan pers, atau tunduk pada sensitivitas pejabat yang dikritik?
SYUKRI























