DPR DALAM PUSARAN KERICUHAN DEMOSTRAN

Iklan Honda

JAKARTA — Gelombang aksi demonstrasi besar-besaran mengguncang sejumlah kota di Indonesia pada 29-30 Agustus 2025. Kericuhan dipicu oleh kebijakan kenaikan tunjangan anggota DPR yang memicu kemarahan publik, ditambah sikap sejumlah anggota dewan yang dinilai arogan dan tak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat.

Wakil Sekertaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Harbiyanto, mengatakan Awalnya, protes bermula di media sosial, namun kemudian berkembang menjadi aksi unjuk rasa nasional. Pada 25 Agustus 2025, ribuan massa dari berbagai elemen—pelajar, mahasiswa, buruh, hingga pengemudi ojek online—memenuhi kawasan Gedung DPR RI, Jakarta. Mereka menuntut pembatalan kebijakan kenaikan tunjangan dan meminta wakil rakyat mendengar aspirasi masyarakat.

Namun, aksi damai, lanjut Harbiyanto, berubah memanas setelah para anggota DPR tidak hadir menemui massa. Bentrokan pecah antara demonstran dan aparat kepolisian. Situasi semakin tegang pada 28 Agustus 2025, ketika Affan Kurniawan (32), seorang pengemudi ojek online, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Peristiwa ini memicu kemarahan publik dan memantik gelombang protes yang meluas.

Kerusuhan Meluas ke Berbagai Kota

Pada 29-30 Agustus 2025, aksi protes terjadi serentak di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Sejumlah fasilitas umum dibakar, kantor pemerintahan dirusak, dan penjarahan dilaporkan terjadi di beberapa titik. Rumah tiga anggota DPR, yakni Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan Eko Patrio, ikut menjadi sasaran amuk massa.

Polri melaporkan sedikitnya 38 orang luka-luka dan 4 korban jiwa selama dua hari kerusuhan. Pemerintah menetapkan status siaga nasional dan menyiagakan pasukan gabungan TNI-Polri untuk mengendalikan situasi.

Pemerintah vs Demonstran

Pemerintah menyebut aksi demonstrasi telah ditunggangi oleh pihak asing dan mengaitkannya dengan ancaman terorisme serta upaya makar. Nama Riza Chalid disebut sebagai salah satu penyandang dana, sementara Martinus Hukom diduga sebagai koordinator lapangan.

Namun, tuduhan ini menuai kritik. Banyak pihak menilai pemerintah mengalihkan isu dan gagal menangani akar permasalahan. Menurut Harbiyanto, demonstrasi ini murni bentuk kekecewaan publik terhadap DPR dan kebijakan pemerintah.

“Kalau pemerintah mau menyelesaikan masalah, dengarkan dulu suara rakyat, jangan menutup telinga dan menyalahkan pihak asing,” ujarnya, Selasa (2/9).

Krisis Kepercayaan terhadap DPR

Kemarahan publik bukan hanya soal tunjangan DPR. Ada akumulasi persoalan: RUU strategis yang tak kunjung disahkan, Minimnya transparansi kebijakan DPR, Sikap anggota dewan yang menyepelekan kritik publik, Kurangnya empati terhadap kesulitan ekonomi masyarakat.

“Ketidakpercayaan publik terhadap DPR akan berdampak pada melemahnya dukungan politik terhadap pemerintah dan berpotensi memicu konflik sosial berkepanjangan,” kata Febrianto.

Para analis menilai jalan terbaik adalah dialog. DPR diminta: Membuka ruang komunikasi dengan masyarakat dan demonstran, Mengevaluasi kebijakan tunjangan dan prioritas anggaran, Mengembalikan fungsi legislatif sebagai representasi rakyat, Memperkuat pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.

Jika tuntutan publik terus diabaikan, gelombang demonstrasi dikhawatirkan akan bereskalasi menjadi pembangkangan sipil yang lebih luas.

SYUKRI