Oleh Redaksi Metrosulsel.com I 22 Juni 2025
MAROS – Polemik kepemilikan lahan seluas 21 hektare di Desa Temmappaduae, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, memasuki babak baru yang kian memanas. Setelah bertahun-tahun dibayangi ketidakjelasan, kini keluarga ahli waris Budu bin Kasa dan Sia binti Nuntung angkat suara dan menggugat dua pihak sekaligus: raksasa energi negara PT Pertamina dan seorang individu yang mereka sebut sebagai kuasa ahli waris palsu.
Dalam konferensi pers yang digelar di Concrete Cafe & Food pada Minggu, 22 Juni 2025, tim hukum dari Azmara Legal Advocate & Legal Consultant membeberkan dugaan kejanggalan atas status hukum lahan tersebut. Objek lahan seluas 21 hektare itu diklaim dikuasai Pertamina berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 00006 Tahun 1999. Namun, menurut tim kuasa hukum, SHGB itu dinilai bermasalah.
“Sudah lebih dari dua dekade, tidak ada satu pun bangunan atau aktivitas industri yang berdiri di atas lahan itu,” ujar Andi Azis Maskur, salah satu kuasa hukum ahli waris. “Sebaliknya, masyarakat sekitar justru memanfaatkan lahan itu untuk berkebun.”
Andi Azis mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan verifikasi terhadap SHGB milik Pertamina ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maros. Dari sana diketahui bahwa lahan tersebut sedang bersengketa di Pengadilan Negeri (PN) Maros. Namun, yang mengejutkan, pihak yang menggugat Pertamina dalam perkara itu bukanlah klien mereka, melainkan seorang pria bernama Nasir Dg Tutu, yang mengaku sebagai kuasa dari ahli waris.
Merasa dilewatkan dan dirugikan, keluarga Budu bin Kasa dan Sia binti Nuntung segera menyiapkan gugatan balik terhadap Pertamina dan Nasir. “Kami sudah siapkan langkah hukum untuk menggugat keduanya,” kata Azis Maskur.
Namun, drama belum berakhir. Ketika pihak ahli waris hendak mendaftarkan gugatan resmi, muncul fakta baru yang membuat mereka curiga: gugatan yang sebelumnya diajukan Nasir Dg Tutu tiba-tiba dicabut secara diam-diam dari PN Maros.
“Ini janggal. Kami menduga ada permainan. Gugatan dicabut tanpa proses terbuka, seolah ada upaya mengaburkan fakta hukum,” ujar Azis. Menanggapi perkembangan itu, tim kuasa hukum langsung menempuh jalur pidana dengan melaporkan Nasir Dg Tutu ke Polres Maros atas dugaan pemalsuan dokumen dan keterangan palsu.
Langkah hukum ini menandai eskalasi konflik lahan yang selama ini berjalan senyap. Kini, dengan keterlibatan aparat penegak hukum dan dugaan pelanggaran pidana, kisruh kepemilikan lahan 21 hektare di Maros mulai menyeret nama besar dan potensi skandal administratif.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Pertamina maupun Nasir Dg Tutu terkait perkembangan tersebut. Tempo terus berupaya mengonfirmasi kepada pihak-pihak terkait.
Catatan Redaksi:
Kasus ini menyoroti kompleksitas konflik agraria di Indonesia, terutama di tengah tumpang tindih kepemilikan antara masyarakat adat, pemerintah, dan korporasi besar. Sengketa lahan di Maros adalah potret kecil dari persoalan yang lebih besar: bagaimana negara memastikan hak kepemilikan dan perlindungan hukum berjalan adil tanpa kompromi.
JUMADI