JAKARTA — Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati momentum bersejarah lahirnya Sumpah Pemuda, ikrar suci yang menegaskan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa — Indonesia. Kini, 97 tahun setelah peristiwa monumental itu, semangat persatuan dan perjuangan para pemuda 1928 kembali relevan di tengah tantangan ekonomi, politik, dan sosial bangsa.
Sumpah Pemuda lahir dari keprihatinan terhadap penjajahan dan perpecahan. Kini, penjajahan memang telah berganti rupa — menjadi ketimpangan, korupsi, dan ketergantungan ekonomi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 mencatat 25,9 juta jiwa atau 9,2% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, 1% penduduk terkaya menguasai 41% kekayaan nasional (Credit Suisse Global Wealth Report 2025). Jurang kesenjangan ini menjadi bukti bahwa cita-cita keadilan sosial sebagaimana diamanatkan Proklamasi 1945 belum sepenuhnya tercapai.
PEMUDA SEBAGAI PENENTU MASA DEPAN
Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya transformasi ekonomi dan digitalisasi nasional sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045. Fokus pada hilirisasi industri, pendidikan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics), dan kemandirian pangan diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Namun, tanpa reformasi tata kelola dan pemberantasan korupsi, semua upaya tersebut berisiko gagal di tengah jalan. Data KPK menunjukkan kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp50,2 triliun pada 2024, mayoritas berasal dari sektor infrastruktur.
Di sisi lain, bonus demografi dengan 70 juta pemuda produktif menjadi peluang besar bagi kebangkitan ekonomi — jika dikelola dengan visi dan integritas. Pemuda hari ini bukan hanya penonton, tetapi pelaku utama perubahan yang akan menentukan wajah Indonesia masa depan.
SEMANGAT 1928 DALAM KONTEKS 2025
Seperti seruan Soekarno dalam tulisan legendarisnya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” (1926), hanya persatuan lintas golongan yang dapat membawa bangsa menuju “sinar yang satu.” Semangat itu kini harus diterjemahkan ke dalam bentuk baru: kolaborasi lintas partai, agama, dan generasi untuk membangun kemandirian nasional yang berkeadilan.
Refleksi Sumpah Pemuda ke-97 bukan hanya mengenang masa lalu, melainkan panggilan untuk melawan penjajahan dalam bentuk baru — korupsi, oligarki, dan ketimpangan ekonomi. Pemuda Indonesia harus berani bersuara dan bertindak, menjadi garda terdepan dalam menegakkan kejujuran, solidaritas, dan keadilan sosial.
MENYULUT API PERJUANGAN BARU
Kini saatnya pemuda Indonesia melanjutkan semangat 1928 dalam konteks abad ke-21. Mereka harus menjadi motor perubahan yang membawa Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah menuju bangsa maju dan berdaulat.
“Sumpah Pemuda bukan akhir perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab baru,” tulis Farkhan Evendi.
Sumpah Pemuda 2025 adalah momentum kebangkitan moral generasi muda untuk menegakkan Indonesia yang bersih dari korupsi, mandiri secara ekonomi, dan kuat dalam persatuan.
Karena, sebagaimana dulu, tanpa pemuda, Indonesia hanyalah nama tanpa nyala.
SYUKRI




















