Oleh: Redaksi Metrosulsel.com
Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak penggunaan APBN untuk menutup utang proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung (Whoosh) boleh jadi terlihat sederhana, tetapi dampaknya seperti gempa politik di tubuh kekuasaan. Keputusan itu membongkar jalinan kepentingan gelap yang selama ini bersembunyi di balik jargon “proyek strategis nasional.”
Purbaya, yang dikenal sebagai ekonom bersih, teknokrat murni, dan bukan orang partai kini berdiri di garis depan pertempuran melawan sistem yang korup. Ia memilih menegakkan disiplin fiskal ketika banyak pihak di lingkar kekuasaan justru ingin menjadikan APBN sebagai “karpet merah” untuk menutupi kesalahan dan keuntungan kelompok tertentu.
Namun pertanyaannya kini menggelinding ke ruang publik: siapa sebenarnya dalang pengkhianatan terhadap negara yang membuat keuangan publik bocor hingga ratusan, bahkan ribuan triliun rupiah setiap tahun?
JEJAK PANJANG MEGAKORUPSI YANG TERBONGKAR
Dalam beberapa bulan terakhir, publik dikejutkan oleh berbagai kasus megakorupsi yang melibatkan proyek strategis bernilai jumbo dari sektor energi, impor pangan, ekspor mineral, hingga proyek infrastruktur berlabel nasional. Audit lembaga negara dan investigasi independen menunjukkan satu benang merah: pola yang berulang dan jaringan yang sama.
Modusnya klasik: miss invoicing, mark-up kontrak, rekayasa tender, dan permainan utang BUMN yang dikemas dengan dokumen keuangan sah.
Namun di balik layar, uang negara mengalir deras ke rekening-rekening yang sulit dilacak. Ratusan triliun rupiah lenyap setiap tahun dari transaksi seperti ini dan di situlah muncul istilah “pengkhianatan terhadap negara.”
Sebagai pengamat intelijen, Amir Hamzah menyebut bahwa langkah Purbaya telah “mengganggu operasi besar yang sudah lama berjalan.”
“Ia bukan orang partai, tidak punya pelindung politik. Tapi justru karena itu, ia bisa menembus jantung persoalan — siapa yang menikmati uang negara di balik jargon pembangunan,” ujar Amir dalam wawancara dengan redaksi.
PROYEK WHOOSH DAN JEBAKAN UTANG
Proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung seolah menjadi panggung terbuka bagi pertarungan ini. Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dulu pernah berkata bahwa proyek tersebut bukan soal untung-rugi semata, melainkan “soal kebanggaan nasional dan simbol kemajuan bangsa.”
Namun romantisme nasionalisme itu kini bertabrakan dengan realitas ekonomi.
Utang proyek yang membengkak, pembengkakan biaya pembangunan, serta pendapatan operasi yang belum mampu menutup beban bunga, menjadikan proyek ini seperti lubang hitam fiskal. Purbaya melihat itu dengan kaca mata seorang ekonom: negara tak boleh terus-menerus menjadi penjamin bagi kegagalan komersial yang dilakukan tanpa disiplin dan transparansi.
Penolakan Purbaya atas pembiayaan APBN bukan sekadar soal angka itu adalah bentuk perlawanan terhadap sistem lama di mana kegagalan bisnis ditutup dengan uang rakyat.
Dan di titik inilah banyak kepentingan besar mulai terguncang.
JARINGAN “DALANG” YANG BERMAIN DI BALIK ANGGARAN
Dalam berbagai investigasi ekonomi, terlihat struktur korupsi yang bukan lagi individual, melainkan terorganisir secara sistemik. Ada empat simpul utama dalam permainan besar ini:
- Oligarki proyek dan kontraktor besar mereka menguasai tender besar dan sering kali menggunakan perusahaan cangkang untuk menampung keuntungan tersembunyi.
- Pejabat birokrasi strategis yang menandatangani setiap izin, revisi kontrak, dan perpanjangan proyek tanpa transparansi publik.
- Broker politik dan operator partai yang berfungsi sebagai penghubung antara pebisnis dan pengambil keputusan.
- Konsultan keuangan internasional yang menyusun skema utang kompleks, sehingga tanggung jawab negara tetap terselubung di balik perjanjian teknis.
Ketika salah satu simpul diganggu misalnya oleh kebijakan seperti yang dilakukan Purbaya maka seluruh jaringan merasa terancam.
Inilah sebabnya mengapa penolakan terhadap APBN untuk proyek tertentu bisa menimbulkan ketegangan politik di tingkat kabinet, bahkan hingga ke parlemen.
MENGAPA GERAKAN MAHASISWA DIREDAM?
Di tengah menguatnya kesadaran publik terhadap korupsi raksasa ini, muncul fenomena lain yang tak kalah mengkhawatirkan: gerakan mahasiswa seolah disumbat. Aksi-aksi di jalan menurun drastis, suara kampus melemah, dan ruang protes menyempit.
Bukan rahasia lagi bahwa beberapa aktivis mahasiswa mengalami intimidasi, pembatasan izin demonstrasi, bahkan kriminalisasi. Dalam konteks ini, pembungkaman suara rakyat bukan sekadar kebijakan keamanan, tapi bagian dari strategi mempertahankan status quo.
Ketika korupsi mulai terkuak, yang pertama dibungkam bukan pelakunya, tapi mereka yang berani bersuara.
Gerakan mahasiswa yang dulu menjadi penentu arah sejarah dari 1966 hingga 1998, kini menghadapi tantangan baru: kekuasaan yang semakin lihai menutup ruang perlawanan dengan dalih stabilitas.
APA YANG DIPERTARUHKAN
Keputusan Purbaya sebenarnya sederhana: menegakkan disiplin fiskal dan menjaga kredibilitas keuangan negara. Namun di baliknya, ia sedang berhadapan dengan kekuatan besar yang selama ini menjadikan anggaran publik sebagai ladang pribadi.
Jika langkah Purbaya gagal didukung Presiden dan masyarakat, maka ia akan menjadi korban berikutnya dari sistem yang menolak dibersihkan. Namun jika keberaniannya dilanjutkan, ia bisa menjadi simbol perlawanan baru bukan sekadar terhadap korupsi, tapi terhadap seluruh bentuk pengkhianatan terhadap republik.
Karena yang dipertaruhkan bukan hanya neraca keuangan negara, tapi moral bangsa. Dan sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani berdiri di sisi yang benar, meski sendirian.
Kesimpulan Redaksi:
Purbaya Yudhi Sadewa telah menyalakan obor kecil di tengah kegelapan korupsi fiskal yang menelan triliunan rupiah uang rakyat. Obor itu kini butuh dijaga, bukan dipadamkan. Sebab dalam setiap peradaban, kebangkitan bangsa dimulai dari keberanian satu orang untuk berkata: “Cukup sudah uang rakyat dijadikan mainan.”
.




















