Oleh: H. FARKHAN EVENDI, M.AP
KETUA UMUM BINTANG MUDA INDONESIA, ALUMNI PESANTREN LANGITAN DAN AL-ISLAH BUNGAH
Pesantren adalah denyut nadi peradaban Nusantara, jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai negara merdeka pada 1945. Lembaga pendidikan Islam ini, yang berakar sejak abad ke-16 di Jawa dan Sumatra, telah menjadi benteng agama, budaya, sekaligus perlawanan terhadap penjajahan. Dari pesantren lahir para ulama, pejuang, dan cendekiawan yang membentuk jati diri bangsa.
Namun, di tengah kemegahan sejarahnya, dunia pesantren kini menghadapi ujian berat. Tragedi memilukan terjadi pada 29 September 2025, ketika bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo ambruk saat salat Asar, menewaskan 63 santri muda—mayoritas berusia 12–19 tahun—dan melukai puluhan lainnya. Investigasi mengungkap kelalaian struktural dan ketiadaan izin bangunan (IMB) sebagai penyebab utama. Ironisnya, dari 42.433 pesantren di Indonesia, hanya sekitar 50 yang memiliki izin bangunan resmi.
Tak lama berselang, tayangan “XPOSE UNCENSORED” di Trans7 pada Oktober 2025 memicu gelombang boikot nasional dengan tagar #BOIKOTTRANS7 yang menembus 137 ribu unggahan di media sosial X. Tayangan itu dinilai melecehkan tradisi ta’dzim di Pesantren Lirboyo, Kediri, setelah menampilkan santri yang merangkak di hadapan kiai. Polemik pun merebak: sebagian publik menuduh tradisi itu sebagai bentuk “feodalisme”, sementara kalangan pesantren menilai tayangan tersebut gagal memahami nilai penghormatan dalam budaya santri.
Lebih jauh, dunia pesantren juga diguncang berbagai kasus kekerasan dan pelecehan seksual. PBNU mencatat 114 insiden kekerasan di pesantren sepanjang 2024, di mana 48 kasus (42%) merupakan kekerasan seksual yang melibatkan 573 korban—556 perempuan dan 17 laki-laki. Komnas Perempuan menilai angka ini hanyalah puncak dari fenomena gunung es. Tragedi-tragedi ini meninggalkan luka moral dan menuntut introspeksi mendalam dari seluruh keluarga besar pesantren.
JASA BESAR PESANTREN BAGI NUSANTARA
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama; ia adalah ekosistem pembelajaran yang holistik. Sejak era Kesultanan Demak, pesantren seperti Ampel Denta di Surabaya (abad ke-15) telah mendidik masyarakat melalui pengajaran Al-Qur’an, hadis, dan fiqih, sekaligus membangun karakter melalui ta’dzim dan akhlak mulia. Data Kementerian Agama mencatat, pada 2025 terdapat 42.433 pesantren dengan 6,2 juta santri, menunjukkan betapa besar pengaruh lembaga ini terhadap kehidupan bangsa.
Sebelum hadirnya sekolah modern ala Barat, pesantren telah menjadi satu-satunya lembaga pendidikan formal di Nusantara. Melalui kitab kuning, pesantren mengajarkan kemampuan membaca, menulis, serta berpikir kritis, sekaligus membumikan nilai-nilai Islam.
Peran pesantren juga melampaui pendidikan. Ia menjadi benteng perlawanan terhadap kolonialisme. Pada abad ke-19, pesantren seperti Langitan di Widang Tuban dan Tebuireng di Jombang melahirkan tokoh besar seperti K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (1926), yang memobilisasi para santri dalam Resolusi Jihad 1945 untuk melawan penjajah. Bahkan jauh sebelumnya, Pangeran Diponegoro menjadikan pesantren sebagai pusat strategi dan rekrutmen pasukan dalam Perang Jawa (1825–1830). Sejarawan Sartono Kartodirdjo bahkan menyebut pesantren sebagai “basis revolusi” yang menyatukan semangat spiritual dan nasionalisme.
Pasca-kemerdekaan, pesantren tetap relevan dengan mendidik anak-anak miskin di pedesaan yang tak terjangkau pendidikan formal, menyediakan asrama, makan, dan pendidikan akhlak secara gratis. Berbeda dengan pendidikan Barat yang menekankan keterampilan teknis, pesantren menanamkan akhlak sebagai inti pendidikan—mengajarkan tawadhu, ikhlas, dan disiplin melalui tradisi ta’dzim, sorogan, dan bandongan.
TANTANGAN ZAMAN MODERN
Kini pesantren menghadapi tantangan besar di era digital dan urbanisasi. Kasus pelecehan, kekerasan, dan kelalaian infrastruktur mencoreng citra pesantren yang selama ini dijunjung tinggi. Tragedi runtuhnya musala di Sidoarjo, misalnya, menjadi alarm bagi lemahnya pengawasan struktural.
Kontroversi media juga memperlihatkan bagaimana pesantren sering disalahpahami. Boikot terhadap Trans7 mungkin menunjukkan solidaritas, tetapi tak cukup menyelesaikan akar masalah: kurangnya dialog dan literasi publik tentang nilai luhur pesantren.
Selain itu, generasi muda kini lebih tertarik pada pendidikan yang menawarkan karier cepat dan akses digital. Pesantren yang tertinggal dalam transformasi teknologi berisiko kehilangan daya tarik. Meskipun UU Pesantren No. 18 Tahun 2019 telah memberikan pengakuan formal, implementasinya masih tersendat, terutama dalam hal standarisasi keselamatan dan perlindungan anak.
SAATNYA REFLEKSI DAN PEMBAHARUAN
Pesantren tidak bisa hanya berlindung pada kejayaan masa lalu. Untuk tetap relevan, ia harus berbenah dengan cerdas dan bijak. Pembentukan Satgas Pesantren Ramah Anak, kanal pengaduan digital, dan audit keselamatan bangunan perlu diperluas. Kemenag mencatat baru sekitar 30% pesantren pada 2025 yang menerapkan sistem perlindungan tersebut.
Inovasi kurikulum berbasis teknologi, seperti e-learning dan vokasi, yang telah diterapkan di Pesantren Darussalam Gontor, Tebuireng, dan beberapa pesantren lainnya, bisa menjadi teladan. Di sisi lain, pesantren juga perlu membuka ruang dialog dengan media agar nilai-nilai luhur ta’dzim dan spiritualitasnya dipahami secara proporsional.
Pesantren adalah cermin ketahanan budaya Nusantara yang kini diuji oleh derasnya arus globalisasi. Dengan merangkul perubahan tanpa meninggalkan akar spiritual, pesantren akan tetap menjadi mercusuar peradaban Islam di Indonesia—sejalan dengan visi Hari Santri 2025: “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.”
Semoga pesantren terus melahirkan generasi berakhlak mulia, berilmu, dan siap berkompetisi di dunia modern.
Wa Allahu a’lam bisshawab.




















