DLH Sulsel: Kajian AMDAL Tak Akan Direkomendasikan Jika Lokasi Belum Ditetapkan Pemkot
MAKASSAR — Rencana Pemerintah Kota Makassar membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di kawasan Mula Baru, Tamalalang, Alamanda, dan Akasia memicu gelombang penolakan warga. Mereka menilai proyek ini dipaksakan dan mengabaikan prinsip partisipasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penolakan itu disuarakan melalui pernyataan resmi Gerakan Rakyat Menolak Lokasi Pembangunan PLTSa (GERAM PLTSa) yang beredar luas di Makassar, Senin (21/10/2025). Dalam dokumen tersebut, warga menuding pemerintah kota dan investor melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) karena tidak melibatkan masyarakat terdampak dalam proses sosialisasi dan pengambilan keputusan proyek PLTSa yang dikelola PT Sumber Urip Sejati (PT SUS).
“Ketiadaan pelibatan masyarakat secara bermakna bahkan proses sosialisasi yang dilakukan tidak mencerminkan partisipasi sejati sebagaimana diamanatkan dalam prinsip FPIC. Situasi ini menimbulkan ketegangan dan ketidakpercayaan warga,” tulis pernyataan GERAM PLTSa.
Warga menilai proyek PLTSa justru akan menimbulkan masalah baru: pencemaran udara, bau tidak sedap, serta ancaman kesehatan bagi masyarakat sekitar. Mereka menegaskan, solusi pengelolaan sampah seharusnya dilakukan dengan pendekatan 3R (Reduce, Reuse, Recycle), bukan dengan membakar sampah menjadi energi yang berisiko menimbulkan polusi.
Dalam sikap resminya, GERAM PLTSa menyampaikan enam tuntutan pokok, antara lain:
Menolak keras pembangunan PLTSa/PSEL di kawasan Mula Baru, Tamalalang, Alamanda, dan Akasia.
Mendorong pengelolaan sampah berbasis 3R sebagai solusi yang ramah lingkungan dan memberdayakan masyarakat.
Mendesak Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin turun langsung meninjau lokasi rencana PLTSa dan membatalkan proyek yang berdekatan dengan permukiman warga.
Meminta tim penilai AMDAL tidak memberikan rekomendasi lingkungan terhadap proyek PLTSa PT SUS karena tidak transparan dan tidak melibatkan warga.
Menyerukan institusi pendidikan agar tidak ikut mendukung proyek yang merugikan masyarakat.
Mendesak Presiden RI Prabowo Subianto untuk mencabut Perpres Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui PLTSa dan menggantinya dengan kebijakan berbasis komunitas yang ramah lingkungan.
Selain menyampaikan pernyataan sikap tertulis, massa GERAM PLTSa juga menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Dalam aksi itu, warga membawa spanduk dan poster penolakan, serta menyerahkan salinan tuntutan kepada pemerintah provinsi.
Aspirasi warga diterima langsung oleh Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Selatan, Erwin, yang menemui perwakilan massa di halaman kantor gubernur.
Erwin menjelaskan bahwa Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel hanya berwenang dalam proses kajian lingkungan (AMDAL), sedangkan penentuan lokasi proyek sepenuhnya merupakan kewenangan Pemerintah Kota Makassar. Ia menegaskan, DLH tidak akan memberikan rekomendasi AMDAL jika aspek sosial tidak terpenuhi dan lokasi belum ditetapkan secara resmi oleh pemerintah kota.
“Salah satu kajian lingkungan dapat berlanjut bila tidak ada dampak sosial, utamanya bagi masyarakat sekitar. Intinya, DLH tidak akan memberikan rekomendasi lingkungan AMDAL jika lahan belum ditentukan oleh Pemerintah Kota Makassar,” tegas Erwin.
Warga berharap pernyataan DLH ini menjadi sinyal bagi Pemkot Makassar untuk menghentikan sementara seluruh proses perencanaan PLTSa hingga ada kejelasan dan partisipasi publik yang nyata.
“Pemerintah jangan memaksakan proyek yang justru mengorbankan rakyat. PLTSa bukan solusi, tapi sumber polusi,” ujar salah satu perwakilan warga dalam orasi.
Aksi ini menjadi penegasan sikap masyarakat yang menuntut transparansi, keadilan ekologis, dan perlindungan terhadap hak hidup sehat warga Makassar.
MUH ARFAH I JUM























