DONGGALA — Kabar duka menyelimuti dunia kemanusiaan Indonesia. Seorang tenaga kesehatan muda, Ariel Sharon, telah berpulang saat sedang menjalankan tugasnya di pedalaman Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pada Kamis, 10 Juli 2025.
Ariel bukan seorang tokoh yang dikenal luas di media, bukan pula pejabat tinggi, namun dedikasinya menembus batas dan memberi makna pada kata “pengabdian”. Di tengah hutan-hutan lebat dan perbukitan yang curam, ia menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat yang selama ini nyaris tak tersentuh fasilitas kesehatan.
Ia bukan pahlawan bersenjata, namun ia gugur sebagai pejuang kemanusiaan. Tak ada ambulans, tak ada jalanan mulus. Ketika tubuhnya lemas dan tak sadarkan diri, warga hanya bisa menggotongnya dengan tandu bambu, berjalan berjam-jam menembus hutan dan tanjakan demi membawanya turun ke desa. Namun takdir berkata lain. Di tengah perjalanan penuh perjuangan itu, Ariel menghembuskan napas terakhirnya.
Di sisi jasadnya yang terbaring diam, sang ayah berdiri terpaku dengan mata berkaca-kaca. Tangannya enggan melepas jemari sang anak—seakan belum rela kehilangan cahaya hidup yang begitu berarti. Duka sang ayah bukan hanya karena ditinggal, tetapi karena anaknya wafat saat sedang menolong orang lain di tempat yang bahkan negara pun masih sulit menjangkaunya secara layak.
Ariel Sharon mungkin telah tiada, namun semangatnya akan terus hidup. Kepergiannya bukan hanya kehilangan bagi keluarga, tetapi juga bagi bangsa ini. Ia adalah simbol keberanian, ketulusan, dan kemanusiaan. Sosok yang tak dikenal kamera, tapi dikenal oleh senyum-senyum warga yang pernah merasakan sentuhan tangannya.
Semoga kepergianmu membuka mata banyak orang—bahwa pahlawan itu nyata. Mereka hidup di pelosok, tanpa sorotan, tanpa tepuk tangan, tapi dengan cinta yang tulus dan pengabdian yang utuh.
Selamat jalan, Ariel. Husnul khotimah. Indonesia berduka, tapi juga bangga pernah memiliki putra sepertimu.