Modus Sumbangan SMKN 2 Maros Dibongkar, Kasek Siap Hapus

Iklan Honda

MAROS — Polemik pungutan dana komite di SMK Negeri 2 Maros kian memanas. Wakil Ketua Komisi E DPRD Sulsel, A. Patarai Amir, menegaskan bahwa tidak boleh lagi ada iuran sekolah dengan alasan apa pun, apalagi jika bersifat memaksa. “Saya sudah teruskan ke Kepala Dinas Pendidikan. Kalau masih ada, lapor saja ke kejaksaan. Contohnya di SMA 1 Maros, sudah dihentikan uang komitenya,” tegas Patarai, Rabu (7/8/2025).

Pernyataan keras ini muncul menyusul laporan sejumlah wali murid yang mengaku terbebani dengan “sumbangan komite” senilai Rp700 ribu per siswa, yang bersifat wajib. Ironisnya, pungutan ini dilakukan dengan dalih kesepakatan dalam rapat komite, meski mekanismenya dianggap manipulatif.

Menurut informasi yang dihimpun, rapat dilakukan secara bertahap dengan mengundang sekitar 50 orang tua siswa tiap sesi. “Modusnya supaya terkesan disepakati. Tapi faktanya, jumlah dan kewajiban itu sudah ditentukan,” ujar salah satu wali murid.

Total ada lebih dari 600 siswa yang dibebankan pungutan selama tiga tahun terakhir, sehingga potensi dana yang terkumpul bisa mencapai Miliaran rupiah, Namun hingga kini, tidak ada penjelasan rinci terkait penggunaan dana tersebut.

Kepala SMKN 2 Maros, Asis, mengelak dari tanggung jawab dengan alasan tidak hadir dalam rapat komite karena sakit. “Seandainya saya hadir, tidak akan ada pungutan seperti itu,” ujarnya. Namun dalam pernyataan terpisah, ia menyatakan akan menghentikan pungutan yang ditentukan nilainya. “Saya nyatakan tidak ada lagi pungutan yang sifatnya ditentukan kepada orang tua,” kata Asis.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Sulsel, Andi Iqbal Najamuddin, menyatakan akan melakukan pengecekan terhadap kebijakan pungutan di sekolah tersebut.

Menanggapi kemungkinan adanya unsur pelanggaran hukum, Kasi Pidsus Kejari Maros, Sulfikar, menyatakan akan mendiskusikan persoalan ini bersama penyidik. “Saya coba koordinasikan dulu dengan teman-teman penyidik,” kata Sulfikar.

Sejumlah wali murid juga menyuarakan kekecewaan atas praktik ini. Fausia Sangkala, salah satu orang tua siswa, menyebut bahwa penarikan dana tersebut tidak transparan dan bernuansa intimidatif. “Katanya sumbangan, tapi kalau jumlahnya ditentukan dan wajib dibayar semua siswa, itu bukan lagi sumbangan,” ujarnya.

Ia menambahkan, agenda pungutan tidak pernah disebut dalam undangan rapat. “Tiba-tiba saat rapat, langsung diputuskan. Ketua komite bahkan menyatakan yang hadir mewakili yang tidak hadir. Ini sangat janggal,” lanjut Fausia.

Kekhawatiran juga muncul di kalangan orang tua, yang takut anaknya dipersulit jika menolak membayar. “Kami takut menolak karena bisa berdampak pada anak-anak kami, misalnya tidak diberikan rapor atau tidak naik kelas,” ujar salah satu wali murid lainnya.

Kasus ini memicu pertanyaan serius: apakah praktik pungutan oleh komite sekolah negeri yang bersifat wajib bisa dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli)?

Desakan kini mengarah ke Dinas Pendidikan dan aparat penegak hukum agar menghentikan praktik pungutan berkedok sumbangan di sekolah-sekolah negeri, serta melakukan audit transparansi dana komite agar tidak menjadi beban tahunan bagi masyarakat.

JUM