MAROS — Kepala SMKN 2 Maros, H. Asis, S.Pd., M.Pd., secara resmi menyatakan menghentikan seluruh bentuk pungutan komite yang selama ini membebani orang tua siswa. Pernyataan ini tertuang dalam surat resmi yang ditujukan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, menyusul polemik “sumbangan komite” sebesar Rp700 ribu per siswa yang menuai protes publik.
Surat bernomor 421.5/032-UPT SMKN.2/MAROS/DISDIK tertanggal 8 Agustus 2025 itu menyebutkan bahwa berdasarkan hasil rapat komite pada Kamis, 7 Agustus 2025, pihak sekolah tidak lagi memberlakukan iuran komite dalam proses belajar mengajar.
“Saya selaku Kepala UPT SMK Negeri 2 Maros menyatakan bahwa tidak ada pembayaran iuran komite dalam proses belajar mengajar,” tulis Asis dalam surat yang dibubuhi stempel resmi sekolah.
Langkah ini mendapat dukungan penuh dari Anggota Komisi E DPRD Sulsel, A. Patarai Amir. Ia menegaskan, tidak boleh ada lagi bentuk pungutan di sekolah negeri, apalagi yang dibungkus dengan istilah “sumbangan” tetapi bersifat wajib.
“Setelah saya berkoordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan, surat pernyataan dari kepala sekolah langsung dikirimkan ke kami,” kata Patarai, Kamis (8/8/2025).
Sebelumnya, ratusan orang tua siswa memprotes keputusan komite sekolah yang mewajibkan setiap siswa membayar Rp700 ribu per tahun dengan dalih “kesepakatan”. Praktik ini dinilai tidak transparan, manipulatif, dan menyimpang dari prinsip sukarela yang menjadi dasar sumbangan komite.
Beberapa wali murid mengaku bahwa mereka diundang rapat secara bertahap dan ditekan untuk menyetujui jumlah pungutan yang sudah ditentukan. Bahkan, sebagian orang tua disebut telah membayar separuh dari jumlah yang ditetapkan.
Fausia Sangkala, salah satu wali murid, menyambut baik langkah pembatalan iuran tersebut. Namun ia menilai, pihak yang bertanggung jawab dalam memaksakan pungutan harus diberi sanksi.
“Ulah Ketua Komite harus diberi sanksi. Ia telah merugikan ratusan orang tua siswa yang terpaksa membayar karena takut anak mereka mendapat tekanan dari pihak sekolah,” tegasnya.
Fausia juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, termasuk DPRD dan media, yang telah memberi perhatian serius sehingga kebijakan tersebut dibatalkan.
Meski surat pernyataan resmi telah diterbitkan, publik masih menunggu kejelasan apakah uang yang telah dibayarkan oleh sebagian wali murid akan dikembalikan. Selain itu, sorotan kini mengarah pada mekanisme pembentukan dan peran ketua komite yang dinilai menyimpang dari prinsip musyawarah dan keadilan.
Untuk diketahui, larangan pungutan uang komite di SMK negeri diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Pasal 12 huruf b Permendikbud tersebut secara tegas menyatakan bahwa komite sekolah, baik secara individu maupun kolektif, dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.
JUM