Skandal Daftar Hitam: 369 Kontraktor Disanksi karena Temuan BPK, Ribuan Lainnya Diduga Aman dari Audit

Oleh Redaksi Metrosilsel.com | 25 Juni 2025

JAKARTA – Skema pengadaan barang dan jasa pemerintah kembali tercoreng. Investigasi Metrosilsel.com terhadap laman resmi daftar-hitam.inaproc.id menemukan indikasi skandal sistemik: sebanyak 369 perusahaan masuk daftar hitam nasional akibat temuan langsung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Namun di balik angka itu, tersingkap potret buram penegakan sanksi yang sarat kepentingan dan minim transparansi.

Dari total 4.929 penyedia yang dikenai sanksi blacklist, hanya sekitar 7,4 persen yang berbasis temuan formal audit negara. Artinya, lebih dari 4.500 perusahaan lainnya disanksi tanpa rujukan audit BPK atau APIP, menguak dugaan sanksi administratif yang longgar, bahkan dipakai sebagai alat “pembersihan masalah” tanpa proses hukum.

“Kalau hanya disanksi administratif dan tak dilaporkan ke pidana, ini jadi semacam cuci dosa. Habis masa larangan, ikut tender lagi,” ujar seorang mantan pengurus asosiasi kontraktor nasional.

Baca Juga:  "Yang Mulia" di Maros Lebih Sakti dari Hukum

Provinsi Sulawesi Utara tercatat sebagai penyumbang terbanyak dengan 489 perusahaan, disusul Sumatera Selatan (278), Sumatera Barat (169), dan Sumatera Utara (145). Pelanggaran yang dilakukan beragam: manipulasi dokumen, proyek fiktif, hingga pengabaian kontrak. Ironisnya, lebih dari 2.356 paket pengadaan yang bermasalah justru bernilai di atas Rp100 miliar, sebuah ironi dalam praktik anggaran publik.

Paket kecil pun tak luput. Sebanyak 1.350 paket bernilai di bawah Rp2,5 miliar juga turut dicatut dalam permainan kotor ini.

Modus favorit lainnya adalah pejabat pembuat komitmen (PA/KPA) yang merangkap sebagai penyedia jasa. Sekitar 8,7 persen kasus terindikasi melanggar prinsip dasar pengadaan: integritas dan pemisahan fungsi.

Pelanggaran paling banyak mengacu pada: Peraturan LKPP No. 4 Tahun 2021 (23,37%) Perka LKPP No. 18 Tahun 2014 tentang larangan rangkap jabatan (16,72%) dan Peraturan LKPP No. 17 Tahun 2018 Pasal 3 huruf g (15,8%)

Baca Juga:  Kemensos Buka Seleksi PPPK Guru Sekolah Rakyat Tahun 2025: Simak Jadwal dan Syarat Lengkapnya

Namun yang lebih mencemaskan, 31,08 persen sanksi masuk kategori “lain-lain”, tanpa penjelasan hukum yang memadai. Banyak entri di situs resmi tidak disertai dokumen sanksi maupun berita acara—menandakan lemahnya transparansi dalam mekanisme penjatuhan hukuman.

Presiden Prabowo Subianto tak tinggal diam. Dalam rapat terbatas pekan lalu, ia menyerukan tindakan tegas terhadap perusahaan-perusahaan nakal, terutama yang disebut dalam laporan BPK.

“Jangan ada toleransi. Jika terbukti melanggar dan merugikan negara, proses blacklist harus segera dilakukan,” tegas Prabowo di Istana Negara.

Ia menekankan bahwa sanksi administratif bukanlah pengganti proses pidana, apalagi sekadar formalitas untuk menenangkan publik. Presiden bahkan meminta LKPP, Kementerian PUPR, dan Kejaksaan Agung untuk berkoordinasi dengan BPK dalam mempercepat tindak lanjut hukum, termasuk kemungkinan pencabutan izin usaha.

“Negara tidak boleh kalah oleh pengusaha yang menyalahgunakan kepercayaan. Setiap rupiah dari APBN harus dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

Baca Juga:  Serangan COVID‑19 Kembali Mengganas : Pemerintah Indonesia Perketat Upaya Pencegahan

Hingga 25 Juni 2025, 261 penyedia masih aktif dalam daftar hitam. Sebagian besar belum tersentuh aparat penegak hukum. Situs daftar-hitam.inaproc.id seharusnya menjadi alat kontrol publik yang kuat. Namun tanpa keterbukaan informasi yang memadai, daftar hitam justru berisiko menjadi alat kompromi diam-diam antara pemerintah dan kontraktor nakal.

Laporan ini menunjukkan bahwa pengadaan barang dan jasa bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi pertarungan antara moralitas publik dan kepentingan bisnis gelap.

JUMADI I SUKRI