JAKARTA — Ketua Umum DPN Bintang Muda Indonesia (BMI), Farkhan Evendi, menanggapi polemik penetapan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Menurutnya, perdebatan publik yang muncul merupakan konsekuensi dari belum matang dan belum konsistennya negara dalam memahami makna kepahlawanan.
Farkhan, yang akrab disapa Gus Farkhan, menegaskan bahwa kepahlawanan tidak semata-mata soal penghargaan terhadap jasa seorang tokoh, melainkan instrumen moral yang berfungsi membimbing bangsa dalam membaca sejarahnya.
“Kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif. Bagaimana bangsa mendidik anak-anaknya untuk membedakan benar dan salah dalam sejarah, memilih siapa yang patut dihormati dan siapa yang menjadi pelajaran,” ujar Gus Farkhan.
Ia menilai wajar jika publik mempertanyakan keputusan negara memberi gelar pahlawan kepada Soeharto, sebab negara dinilai belum memberi penjelasan komprehensif tentang dasar moral keputusan tersebut.
Bangsa Harus Dewasa, tapi Tidak Boleh Mengaburkan Kesalahan
Gus Farkhan mengakui bahwa bangsa Indonesia perlu menunjukkan kedewasaan dalam menghargai jasa para pemimpin, karena setiap pemimpin memiliki kontribusi pada masanya. Namun menurutnya, hal itu tidak boleh diartikan sebagai pembenaran atas kesalahan sejarah.
“Bangsa ini tidak boleh mengaburkan kesalahan atau kejahatan sejarah, apalagi bersembunyi di balik kata rekonsiliasi,” ujarnya.
Ia juga mengkritik alasan rekonsiliasi yang digunakan untuk membenarkan keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Menurutnya, jika negara konsisten pada semangat rekonsiliasi, maka tokoh-tokoh “kiri” yang turut berjuang melawan kolonialisme seharusnya juga diakui perannya.
Pentingnya Keberanian Mengakui Sejarah
Gus Farkhan berharap negara berani bersikap jujur dan konsisten terhadap sejarah Indonesia, agar generasi mendatang mendapatkan pelajaran moral yang utuh.
“Bangsa ini harus berani mengakui sejarahnya sendiri. Konsistensi itu penting agar menjadi warisan moral bagi generasi muda,” tegasnya.
SYUKRI























