JAKARTA — Laporan tajam datang dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP). Peneliti ekonomi politik Gede Sandra memaparkan temuan mencengangkan: selama sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia berpotensi kehilangan Rp1.000 triliun setiap tahun akibat praktik miss invoicing atau manipulasi nilai ekspor-impor.
Dalam keterangannya, Gede menjelaskan bahwa praktik tersebut telah lama menjadi “lubang hitam” dalam sistem perdagangan nasional. Ia menyebut dua modus utama:
Under-invoicing, yaitu nilai ekspor dilaporkan lebih rendah untuk menekan pajak dan royalti.
Over-invoicing, di mana nilai impor dinaikkan untuk memindahkan dana ke luar negeri.
“Contohnya ekspor batu bara bernilai US$100 juta, tapi dalam faktur hanya tercatat US$50 juta. Negara kehilangan separuh nilai transaksi yang seharusnya masuk kas publik,” ujarnya dalam laporan yang diterima Metrosulsel.com.
LSP bahkan menyinggung keterlibatan sejumlah tokoh besar dan perusahaan energi nasional. Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada data terbuka yang membuktikan secara langsung keterlibatan pihak-pihak tersebut.
DATA RISET LAIN PERKUAT TEMUAN
Sejumlah lembaga independen membenarkan adanya praktik serupa.
NEXT Indonesia Center menemukan selisih pencatatan perdagangan luar negeri Indonesia periode 2014–2023 mencapai US$654,5 miliar atau sekitar Rp10.760 triliun.
Selisih tersebut mencakup under-invoicing ekspor sebesar US$401,6 miliar dan over-invoicing ekspor sekitar US$252,9 miliar.
Sementara itu, lembaga The Prakarsa mencatat kehilangan penerimaan negara dari sektor batu bara sebesar Rp6,7 triliun per tahun akibat undervaluasi ekspor.
Temuan ini memperkuat indikasi bahwa sistem pengawasan perdagangan luar negeri Indonesia masih lemah dan rentan disalahgunakan.
PENGAWASAN LEMAH, NEGARA RUGI BESAR
Menurut LSP, kebocoran ini terjadi karena lemahnya koordinasi antar-lembaga.
Data antara Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, dan Direktorat Jenderal Pajak tidak saling terhubung secara real time.
Akibatnya, selisih nilai ekspor dan impor yang seharusnya terdeteksi sejak awal menjadi celah besar bagi praktik kecurangan.
“Selama sepuluh tahun, sistem ini berjalan tanpa koreksi mendasar. Kebocoran fiskal seperti ini bukan hanya soal moral, tapi kegagalan struktural negara dalam menjaga aset publik,” tegas Gede Sandra.
KLAIM BESAR, BUKTI TERBATAS
Meski data LSP menimbulkan kehebohan, para ekonom menilai klaim Rp1.000 triliun per tahun perlu diuji lebih lanjut.
Tanpa publikasi metodologi dan data mentah, sulit memastikan angka tersebut secara akurat.
Namun, skala kebocoran yang ditemukan lembaga lain menunjukkan bahwa laporan LSP tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Kalau data LSP benar, berarti hampir separuh APBN Indonesia hilang di tangan sistem yang tak transparan,” ujar seorang analis fiskal yang enggan disebut namanya.
DESAK AUDIT NASIONAL
LSP mendesak pemerintah membentuk tim audit nasional lintas lembaga untuk memeriksa transaksi ekspor-impor satu dekade terakhir, terutama di sektor batu bara, sawit, logam, dan migas.
Langkah ini, kata Gede, penting agar praktik miss invoicing bisa diungkap tuntas dan pelaku ditindak tegas.
“Kalau dibiarkan, kebocoran ini akan terus menggerogoti kedaulatan ekonomi Indonesia,” ujarnya.
ANALISIS METROSULSEL: SISTEMIK, BUKAN INSIDENTAL
Jika laporan ini benar, kebocoran Rp1.000 triliun per tahun bukan sekadar kasus individu, melainkan gagalnya tata kelola ekonomi nasional.
Indonesia tampak tumbuh di atas angka-angka makro yang indah, namun di bawahnya, ribuan triliun rupiah mengalir ke luar negeri tanpa jejak.
Pemerintah harus membuktikan komitmen pemberantasan korupsi dan kebocoran fiskal dengan membuka data lintas negara, melibatkan auditor independen, dan membangun sistem pengawasan digital terpadu.
Karena pada akhirnya, seperti kata Gede Sandra, “Miss invoicing adalah wajah lain dari kolonialisme ekonomi modern. Negara kita merdeka di atas kertas, tapi bocor dalam praktiknya.”
Penulis: Tim Investigasi Metrosulsel.com
Sumber: LSP, NEXT Indonesia Center, The Prakarsa, Bisnis.com, RMOL, DDTC News, dan kajian akademik.























