MAROS — Perdebatan panas soal pungutan komite kembali menyeruak di SDN 30 Maros. Percakapan dalam grup WhatsApp orang tua murid kelas IV memperlihatkan perdebatan sengit antara Wali Kelas IV, Suhaena, dengan sejumlah orang tua murid terkait status uang komite.
Dalam tangkapan layar yang beredar, Suhaena menjelaskan bahwa dana komite sangat membantu sekolah, terutama untuk membayar guru honorer yang tidak tercover dana BOS, serta biaya pelatih, seragam lomba, hingga hadiah kompetisi.
“Kalau tidak ada komite, guru-gurunya anak ta tidak bisa dibayarkan honornya. Alhamdulillah di sekolah kita masih ada komite sehingga anak-anak masih bisa belajar bahasa Inggris dan PJOK,” tulis Suhaena.
Ia menegaskan bahwa sumbangan komite bukan pungutan, melainkan sukarela. Bahkan ia menyebut regulasi Permendikbud No. 75 Tahun 2016 sebagai dasar komite meminta sumbangan dari orang tua.
Namun, klaim ini ditentang keras oleh salah satu orang tua murid, Nurul Amrah, yang menilai praktik tersebut menyalahi aturan.
“Menagih sama saja dengan pungutan. Itu yang tidak boleh. Kalau sifatnya sukarela maka tidak boleh ada penagihan. Itu harus dibedakan,” tegas Nurul.
Kontradiksi dengan Larangan Bupati
Polemik di SDN 30 Maros ini bersinggungan langsung dengan kebijakan terbaru Bupati Maros, H.A.S. Chaidir Syam, yang secara tegas melarang pungutan dalam bentuk apa pun di sekolah.
Larangan tersebut dituangkan melalui surat pemberitahuan resmi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maros, Kepala Dinas, Andi Wandi Bangsawan Putra Patabai, Surat itu ditujukan kepada seluruh kepala sekolah TK, SD, dan SMP di Kabupaten Maros.
Isinya jelas: sekolah dilarang melakukan pungutan, termasuk dalam bentuk iuran komite, paranting, hingga kegiatan maulid, kecuali sumbangan masyarakat yang benar-benar sukarela, tidak mengikat, dan dikelola oleh komite.
Artinya, dalih “sumbangan sukarela” yang disebut Suhaena bisa menjadi masalah jika dalam praktiknya ada bentuk penagihan, pengingat rutin, atau tekanan moral yang membuat orang tua merasa wajib membayar.
Persoalan Lama, Solusi Tak Jelas
Kasus di SDN 30 Maros mencerminkan dilema klasik pendidikan dasar, Sekolah mengaku butuh dana tambahan karena BOS tidak mencukupi, khususnya untuk membayar guru honorer dan kegiatan ekstrakurikuler.
Orang tua murid menuntut transparansi dan kepastian hukum agar iuran komite tidak berubah menjadi pungutan wajib.
Pemerintah daerah sudah melarang pungutan dan meminta sekolah menghentikan praktik tersebut, tapi di lapangan, aturan dan kebutuhan praktis masih sering berbenturan.
Hingga kini, perdebatan di grup WhatsApp orang tua murid kelas IV SDN 30 Maros belum menemukan titik temu. Orang tua mendesak adanya transparansi dan penegakan aturan, sementara guru tetap menegaskan pentingnya kontribusi komite demi keberlangsungan kegiatan sekolah.
Kontradiksi antara pernyataan wali kelas dan larangan Bupati Maros kini menempatkan SDN 30 Maros dalam sorotan publik: apakah praktik iuran komite di sekolah tersebut benar-benar sukarela, atau telah bergeser menjadi pungutan terselubung yang melanggar aturan?
HAMZAN / JUM