SPN di Tengah Hutan Lindung: Proyek Mangkrak, Kerugian Miliaran, Hukum Dilanggar

SPN di Tengah Hutan Lindung: Proyek Mangkrak, Kerugian Miliaran, Hukum Dilanggar

MAROS | metrosulsel.com – Di atas tanah yang dulunya dihuni hutan pinus perawan Tala-Tala, kini berdiri puing-puing proyek ambisius Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Sulsel yang mangkrak, retak, dan ditinggalkan. Proyek bernilai puluhan miliar rupiah itu ternyata dibangun di dalam kawasan hutan lindung tanpa izin kehutanan yang sah. Kondisinya kini rusak berat dan tidak layak digunakan.

Lebih dari sekadar salah kelola, fakta-fakta yang diungkap LSM Pelopor Gerakan Pembaharuan (PEKAN-21) menunjukkan rangkaian dugaan pelanggaran hukum yang merentang dari manipulasi sertifikat hingga perusakan lingkungan dan kerugian negara.

“Kondisinya sangat memprihatinkan. Fasilitas rusak, tak berfungsi, dan pembangunannya melanggar hukum. Ini bukan sekadar kelalaian, ini kejahatan terstruktur,” ujar AKBP (Purn) Agussalim, Ketua Tim Investigasi PEKAN-21.
Pembangunan Tanpa Legalitas, Dikerjakan di Hutan Lindung

Investigasi PEKAN-21 menemukan bahwa proyek SPN Tala-Tala dibangun di atas lahan seluas 6,72 hektare yang secara legal masih berstatus kawasan hutan lindung. Tanpa dokumen pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), puluhan pohon pinus ditebang dan bangunan didirikan, termasuk asrama siswa, pos Brimob, serta satu rumah panggung yang kini digunakan sebagai kediaman pribadi mantan pejabat.

Dokumen resmi menunjukkan lokasi proyek tidak sesuai dengan titik koordinat sertifikat tanah, dan tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan dan PP 104/2015. Lebih jauh, fasilitas SPN tak terhubung dengan infrastruktur dasar—tidak ada listrik, air, dan akses jalan yang layak. Pembangunan yang dipaksakan tanpa studi lingkungan, tanpa AMDAL atau UKL-UPL, menabrak aturan UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup.
Kerugian Negara: Antara Rp35 hingga 50 Miliar

Berdasarkan dokumen anggaran yang dihimpun PEKAN-21 dan sumber dari internal kepolisian, proyek SPN Tala-Tala didanai melalui APBN, hibah Pemprov Sulsel, serta dukungan Pemkab Maros. Estimasi anggaran proyek mencapai Rp35–50 miliar.
Namun, menurut audit investigatif internal Itwasum Polri dan laporan BPKP Sulsel ke Mabes Polri (akhir 2023), ditemukan indikasi penyimpangan pengadaan dan pelaksanaan proyek, termasuk ketidaksesuaian spesifikasi teknis dan mark-up biaya, yang berpotensi merugikan negara hingga belasan miliar rupiah.
“Kerugian negara bukan hanya dalam bentuk uang, tapi juga hilangnya kawasan lindung dan rusaknya ekosistem hutan,” tegas Agussalim.
Sertifikat Ilegal, Transaksi Gelap

Tak hanya soal pembangunan, proses pembebasan lahan SPN Tala-Tala juga menyimpan cacat hukum serius. PEKAN-21 menemukan dugaan keterlibatan oknum kepala desa yang menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) di atas lahan negara. Sertifikat itu dijadikan dasar untuk pemberian ganti rugi kepada enam warga—yang ternyata dilakukan tanpa dokumen resmi dan disinyalir melibatkan transfer tunai dari pihak berafiliasi ke institusi keamanan.

Bukti transfer dan pengakuan warga telah dilampirkan dalam laporan resmi ke Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kejaksaan Melempar ke Polisi, Penanganan Diduga Mandek
Kejaksaan Agung telah dua kali menerima laporan dari PEKAN-21, namun memilih melimpahkan kasus ke Kejaksaan Tinggi Sulsel, dan selanjutnya menyerahkan ke Polri karena lembaga tersebut terlebih dahulu menerbitkan surat penyelidikan.
Kini, kasus ditangani oleh Itwasum Polri di bawah koordinasi Mabes Polri. Namun, publik mempertanyakan transparansi dan kemauan politik dalam penuntasan kasus ini.

“Jika proyek negara di atas tanah negara bisa dilanggar hukum seenaknya, lalu di mana keadilan bagi masyarakat?” tanya Amir Kadir, Sekjen PEKAN-21.
Aturan yang Dilanggar

Pembangunan SPN Tala-Tala dinilai melanggar sedikitnya tujuh undang-undang, antara lain: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 18/2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah, UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan PP No. 104/2015 dan PP No. 23/2021 tentang Kehutanan. Setiap pelanggaran itu memuat ancaman pidana, baik penjara maupun denda miliaran rupiah. Namun hingga kini, tak satu pun pihak ditetapkan sebagai tersangka.

Desakan untuk Menangkap Penanggung Jawab, LSM PEKAN-21 meminta Kapolri dan KPK segera turun tangan menindak kasus ini secara serius. Mereka menekankan bahwa persoalan SPN Tala-Tala bukan hanya soal kerugian fiskal, tetapi pelanggaran hukum kehutanan, tata ruang, dan penghinaan terhadap prinsip negara hukum.
“Bangunan rusak bisa diperbaiki, tapi hutan yang rusak dan hukum yang dilecehkan akan berdampak lama. Tangkap yang bertanggung jawab!” tegas H. Bakri Ramli, S.Sos, Ketua Umum PEKAN-21.

Redaksi | Metrosulsel Investigasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *