MAKASSAR — Sengketa status tanah seluas 16,4 hektare di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Kasus lama yang akarnya sudah berlangsung sejak era 1990-an ini melibatkan sejumlah pihak besar, termasuk Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK), PT Hadji Kalla, PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) yang terafiliasi dengan Lippo Group, serta Mulyono dan Manyombalang Dg. Solong.
Berdasarkan penelusuran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), lahan yang menjadi objek sengketa memiliki dua dasar hak berbeda. Pertama, sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kota Makassar pada 8 Juli 1996 dan berlaku hingga 24 September 2036. Kedua, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama PT GMTD Tbk, yang berasal dari kebijakan Pemerintah Daerah Gowa dan Makassar sejak tahun 1990-an.
“Kasus ini merupakan produk tahun 1990-an. Kini terungkap karena kami sedang berbenah dan menata ulang sistem pertanahan agar lebih transparan dan tertib,” kata Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam keterangan tertulis, Senin (10/11/2025).
Selain dua dasar hak itu, sengketa ini juga terkait gugatan Mulyono serta putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 228/Pdt.G/2000/PN Makassar dalam perkara GMTD melawan Manyombalang Dg. Solong, yang memutuskan GMTD sebagai pihak yang menang. Namun, Nusron menegaskan, secara hukum putusan tersebut hanya mengikat pihak yang berperkara dan ahli warisnya, bukan otomatis berlaku terhadap pihak lain di lokasi yang sama.
“Fakta hukum menunjukkan bahwa di lahan itu terdapat beberapa dasar hak dan subjek hukum berbeda. Karena itu, penyelesaiannya harus berdasarkan data dan proses administrasi yang cermat, bukan dengan mengeneralisasi satu putusan,” ujar Nusron.
Ia menjelaskan, pelaksanaan eksekusi di lapangan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri Makassar sesuai dengan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, secara administrasi, Kementerian ATR/BPN berkewajiban memastikan bahwa objek tanah dalam putusan sesuai dengan data pertanahan yang tercatat resmi.
Sebagai langkah koordinatif, Kantor Pertanahan Kota Makassar telah mengirim surat resmi kepada Pengadilan Negeri Makassar untuk meminta klarifikasi dan koordinasi teknis sebelum pelaksanaan eksekusi.
“Termasuk perlunya konstatiring administratif agar tidak terjadi salah objek,” tambahnya.
Nusron menyebut, kasus ini menjadi momentum penting untuk mempercepat digitalisasi data lama dan sinkronisasi peta bidang tanah, guna mencegah sertifikat ganda (double certificate) serta tumpang tindih hak di masa mendatang.
“Kalau hari ini kasus lama muncul ke publik, itu justru karena sistem kita sedang jujur dan terbuka. Kami ingin semua terang agar ke depan tidak ada lagi tumpang tindih,” kata Nusron menegaskan.
Ia juga menegaskan, Kementerian ATR/BPN tidak berpihak kepada siapa pun—baik PT Hadji Kalla, PT GMTD (Lippo), Mulyono, maupun Manyombalang Dg. Solong. Fokus kementerian adalah penertiban administrasi dan kepastian hukum pertanahan dengan prinsip netralitas dan transparansi.
“Kami berdiri di atas hukum, bukan di atas kepentingan siapa pun,” tegas Nusron.
Sementara itu, CEO Lippo Group James Riady membantah perusahaannya terlibat langsung dalam sengketa lahan tersebut.
“Tanah itu bukan punya Lippo, jadi enggak ada kaitannya dengan Lippo. Kita enggak ada komentar,” ujarnya di kantor Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, Senin (10/11).
Namun, James mengakui bahwa Lippo adalah salah satu pemegang saham PT GMTD Tbk, perusahaan yang disebut sebagai salah satu pihak pengklaim lahan sengketa.
“Lahan itu milik perusahaan daerah yang namanya PT GMTD, perusahaan terbuka di mana Lippo adalah salah satu pemegang saham,” jelasnya.
Kasus Tanjung Bunga kini memasuki babak baru dengan meningkatnya perhatian publik, terutama setelah Jusuf Kalla menyuarakan kekesalannya atas tumpang tindih kepemilikan yang terjadi di kawasan tersebut. Sengketa ini menjadi ujian besar bagi pemerintah dan lembaga pertanahan untuk memastikan kepastian hukum atas tanah di Indonesia benar-benar dapat ditegakkan.
JUM























