MAKASSAR — Kesalahan penulisan alamat dalam dokumen Sertifikat Laik Operasi (SLO) dan Nomor Identitas Instalasi (NIDI) seharusnya bisa diperbaiki secara administratif. Namun alih-alih diberi solusi, konsumen justru dipaksa untuk mendaftar ulang dan membayar kembali seluruh biaya kepada Perusahaan Penyedia Instalasi Listrik Nasional (PPILN).
Seorang konsumen yang enggan disebutkan namanya mengaku kecewa karena diminta membuat ulang SLO dan NIDI dari awal akibat salah input alamat. “Kesalahan ini hanya miskomunikasi, tapi kami yang harus bayar dua kali. Ini bukan pelayanan publik, ini jebakan,” ujarnya kepada Metro Sul-Sel.
PPILN menolak mengubah data pada dokumen yang sudah terbit, dengan dalih sistem tidak memungkinkan revisi. Konsumen yang terdampak pun terpaksa menanggung beban ganda karena harus kembali membayar biaya administrasi yang tidak sedikit.
Sumber internal PPILN mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut bukan karena kendala teknis, melainkan karena aturan internal perusahaan yang menganggap dokumen SLO dan NIDI bersifat final sejak diterbitkan. Akibatnya, sistem yang kaku ini menutup ruang koreksi dan membebani konsumen dengan jalur paling mahal: penerbitan dokumen baru.
Langkah PPILN ini menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk praktisi hukum kelistrikan Hendra Wijaya. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. “Jika ada kesalahan administratif yang bukan akibat kelalaian pelanggan, tidak boleh ada beban biaya tambahan. Ini masuk wilayah maladministrasi,” tegasnya.
PPILN wilayah Makassar mengonfirmasi bahwa dokumen SLO dan NIDI yang sudah terbit tidak bisa direvisi karena alasan sistem. Namun hingga berita ini dimuat, konsumen merasa sangat dirugikan dan mempertanyakan dasar kebijakan tersebut.
Masyarakat berencana membawa kasus ini ke Ombudsman RI dan Kementerian ESDM, untuk menuntut perubahan kebijakan dan pengembalian biaya yang dinilai tidak wajar.
Kasus ini menjadi potret buram pelayanan publik di sektor ketenagalistrikan. Di tengah jargon profesionalisme dan sistem digital yang canggih, konsumen justru terperangkap dalam birokrasi kaku tanpa ruang banding yang adil—sebuah ironi di tengah semangat reformasi pelayanan publik.
TASLIM