Rampas Lahan Terlantar, Negara Mulai Bersih-bersih Mafia Tanah

MAKASSAR — Pemerintah pusat mulai menunjukkan taringnya. Tanah-tanah berstatus HGU dan HGB yang dibiarkan mangkrak oleh korporasi besar kini mulai diambil alih negara. Langkah ini dinilai Yayasan Peduli Hukum dan Lingkungan Hidup (YPHLH) sebagai langkah strategis dan berani dalam membersihkan praktik penguasaan lahan tanpa etika dan tanpa manfaat sosial.

Sekretaris Jenderal YPHLH, Hamzah, menyebut praktik pembiaran lahan HGU dan HGB yang tidak produktif selama ini menjadi akar dari ketimpangan agraria dan kerusakan lingkungan yang dibiarkan.

“Negara selama ini kalah oleh mafia tanah yang berlindung di balik izin HGU dan HGB. Kini, satu per satu harus dicabut. Ini bukan perampasan—ini penertiban,” kata Hamzah, Jumat (1/8).

Sejak era Orde Baru hingga kini, ribuan hektare lahan dikuasai oleh korporasi besar, namun tidak dimanfaatkan secara maksimal. Di saat yang sama, petani lokal dan masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah yang seharusnya bisa menopang hidup mereka.

Hamzah menyoroti fakta bahwa banyak HGU yang sudah habis masa berlakunya atau ditelantarkan bertahun-tahun, namun tetap dipertahankan pemiliknya lewat “permainan koordinasi” dan celah hukum.

“Ini soal keadilan. Kalau negara terus membiarkan lahan terbengkalai itu, maka konflik horizontal akan terus terjadi,” ujarnya.

Dasar Hukum Sudah Kuat, Tinggal Kemauan Politik. Langkah pemerintah ini mengacu pada sejumlah aturan hukum yang sebenarnya sudah cukup jelas sejak lama. Di antaranya:

UU Pokok Agraria No. 5/1960, PP No. 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014

Namun, menurut YPHLH, implementasi aturan tersebut selama ini setengah hati karena tersandera kepentingan elite dan pengusaha besar.

Peringatan untuk Pemilik Izin Tidur, YPHLH mendorong agar kebijakan ini tidak berhenti di pusat. Pemerintah daerah diminta aktif mendata dan merekomendasikan pencabutan izin tanah yang tidak digunakan sesuai fungsinya. Mereka juga meminta agar masyarakat tidak takut melaporkan tanah-tanah terlantar yang menghambat pembangunan desa dan keseimbangan ekologis.

“Ini momentum bersih-bersih. Negara harus hadir, tidak hanya untuk investor, tapi untuk rakyat yang puluhan tahun hanya bisa berdiri di pinggir pagar kebun sawit,” tegas Hamzah.

JUM