Oleh: Ismail Tantu
MAROS metrosulsel.com — Polemik pembangunan rumah toko (ruko) tanpa izin di Kabupaten Maros kian mengkhawatirkan. Di tengah gencarnya pembangunan fisik dan geliat ekonomi daerah, justru muncul ketimpangan dalam aspek penegakan hukum dan pengawasan terhadap perizinan bangunan. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan pemerintah daerah, tetapi juga mengarah pada pembiaran yang berpotensi melanggar hukum.
Ismail Tantu, aktivis dari Lembaga Monitoring Kinerja Aparatur Negara (LEMKIRA Indonesia), menyoroti maraknya pembangunan ruko yang tidak mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)—izin yang dulu dikenal dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Ia menyebut bahwa banyak bangunan yang bahkan telah rampung, namun tidak memiliki legalitas formal.
“Pihak PUPR Kabupaten Maros dan Satpol PP seharusnya tidak membiarkan hal ini terus terjadi. Jika aturan dibiarkan dilanggar, maka wibawa pemerintah daerah akan hilang. Bahkan aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan punya dasar untuk bertindak, sebab pelanggaran perizinan ini mengandung unsur pidana,” ujar Ismail.
Secara regulatif, pelanggaran terhadap aturan perizinan bangunan telah diatur secara tegas dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mulai dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, hingga PP Nomor 16 Tahun 2021, semua memberikan landasan hukum terhadap pentingnya PBG sebagai syarat legalitas pembangunan.
Pemilik bangunan yang tidak memiliki PBG dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda, pembekuan pembangunan, hingga penyegelan bangunan. Tidak hanya itu, ancaman pidana juga mengintai, dengan hukuman maksimal hingga 5 tahun penjara atau denda 20% dari nilai bangunan.
Masalah semakin pelik ketika pembangunan mulai menabrak aturan garis sempadan jalan dan drainase. “Sekarang ini banyak bangunan yang tidak peduli lagi dengan batas sempadan. Parit pun dibangun, seolah-olah ruang publik bisa diambil seenaknya. Ini bukan hanya melanggar aturan tata ruang, tapi juga membahayakan sistem drainase kota,” kritik Ismail.
Lebih menyedihkan lagi, kritik dan sorotan dari masyarakat acap kali tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah. “Sayangnya, ketika masyarakat bersuara, pemerintah sering kali diam. Ini yang membuat pelanggaran terus berulang,” tambahnya.
Mestinya, Pemkab Maros menjadikan isu ini sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola pembangunan. Penertiban tidak boleh setengah hati. Aparat Satpol PP harus bertindak, bukan sekadar sebagai pemadam kebakaran, tetapi sebagai garda terdepan penegakan aturan. Aparat penegak hukum pun perlu melakukan audit dan investigasi jika ditemukan indikasi pelanggaran pidana dalam proses pembangunan ilegal.
Jika dibiarkan, pembiaran terhadap bangunan tak berizin tidak hanya menjadi preseden buruk bagi supremasi hukum, tapi juga membuka ruang praktik kolusi dan korupsi dalam sektor perizinan. Maros tidak boleh jatuh ke dalam jebakan daerah yang permisif terhadap pelanggaran hukum.
Sudah waktunya penegakan hukum berbicara. Bukan hanya demi ketertiban tata ruang dan keselamatan masyarakat, tapi juga untuk menjaga martabat pemerintahan yang bersih, adil, dan akuntabel.
TIM REDAKSI