MAROS – Seorang guru kelas V di SDN 234 Barambang II, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, dilaporkan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Maros atas dugaan tindak kekerasan terhadap beberapa murid.
Dugaan penganiayaan ini mencuat setelah salah satu orang tua murid, Rusdi, mengadukan tindakan seorang guru berinisial H yang disebut menjewer hingga memelintir telinga anaknya hingga menyebabkan memar dan kerusakan pada jilbab yang dikenakan sang anak.
“Kami sebagai orang tua sangat tidak terima. Anak kami dijewer, dipelintir telinganya sampai memar, bahkan jilbabnya robek. Kami baru tahu setelah pulang kerja dan anak kami menangis menceritakan kejadian itu,” ungkap Rusdi, Selasa (29/7).
Menurut Rusdi, guru yang dilaporkan bukan merupakan wali kelas anaknya. Merasa tak terima atas perlakuan tersebut, Rusdi kemudian membawa anaknya ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan dan visum, sebagai bukti laporan ke pihak berwajib.
“Setelah hasil visum keluar, kami langsung melaporkan kejadian ini ke Polres Maros melalui Unit PPA. Kami ingin keadilan,” tegasnya.
Guru berinisial H yang dimaksud diketahui bernama Habriani, baru-baru ini dilantik sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, dugaan kekerasan bukan kali ini saja terjadi.
Sebagai Ketua RT Dusun Bonto Ramba, lokasi berdirinya SDN 234 Barambang II, Rusdi juga mengaku menerima banyak laporan serupa dari warga sekitar.
“Banyak anak-anak yang bukan murid di kelasnya juga pernah diperlakukan kasar. Bahkan anak saya yang kini sudah kelas VI pun sempat menjadi korban kekerasan dari ibu guru ini, padahal dia bukan guru kelasnya,” imbuh Rusdi.
Ia pun mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Maros untuk mengambil tindakan tegas. “Guru seperti ini tidak layak mengajar. Kami minta agar segera diberhentikan agar tidak ada lagi korban berikutnya,” tutupnya.
Secara terpisah, Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Maros, Andi Darmansah, S.P., M.Si., membenarkan adanya laporan dan telah melakukan pemanggilan terhadap guru yang bersangkutan.
“Benar, Senin lalu kami sudah memanggil yang bersangkutan untuk dimintai keterangan. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan, kejadian ini diakui terjadi secara spontan karena murid tidak mengindahkan teguran saat guru sedang dalam suasana rapat pengawas,” jelas Andi.
Meski demikian, Disdikbud tetap memberikan sanksi berupa teguran kepada guru tersebut. “Kami menegaskan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun. Sanksi administratif dapat diberlakukan, termasuk teguran lisan, tertulis, hingga penurunan jabatan sesuai dengan UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014,” tegasnya.
Andi juga mengungkap bahwa pihaknya berupaya menyelesaikan persoalan ini secara persuasif melalui mediasi antara pihak keluarga dan guru bersangkutan, mengingat status PPPK tidak memungkinkan mutasi tugas.
“Kami mendorong agar sekolah lebih mengaktifkan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (TPPKAS). Banyak orang tua murid tidak mengetahui keberadaan tim ini, sehingga langsung membawa persoalan ke ranah hukum,” pungkasnya.
HAMZAN