MAROS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya Gubernur, kembali disorot terkait lemahnya penanganan aktivitas pertambangan ilegal yang semakin marak di berbagai daerah. Lembaga Swadaya Masyarakat Bumi Mentari dan Lembaga Monitoring Kinerja Aparatur Negara (Lemkira) menyuarakan kekecewaan mereka atas situasi ini yang dinilai mencerminkan ketidakbecusan dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan.
Ilham Lahiya, Direktur Eksekutif LSM Bumi Mentari, menegaskan bahwa Gubernur Sulsel seharusnya mengambil langkah tegas dalam menertibkan aktivitas tambang liar yang beroperasi tanpa izin resmi. “Bukan hanya merugikan daerah dari segi pendapatan, tapi ini juga menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup. Kerusakan ekosistem akibat tambang ilegal sudah sangat memprihatinkan,” ujar Ilham.
Ia juga menyoroti dugaan adanya praktik “koordinasi 86” yang dimanfaatkan oleh oknum aparat penegak hukum, baik dari kepolisian daerah maupun kepolisian resor di wilayah-wilayah tambang. “Praktik ini mencoreng integritas hukum dan memperkuat persepsi publik bahwa penegakan hukum hanya berlaku untuk masyarakat kecil, sementara para pelaku tambang ilegal malah dipelihara,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Ismail Tantu dari Lemkira. Ia mengungkap bahwa lemahnya pengawasan dan tindakan hukum terhadap pelanggaran di sektor pertambangan menunjukkan adanya indikasi pembiaran sistematis. “Kami mencium adanya pelanggaran mekanisme perizinan yang justru dilakukan atau dilindungi oleh oknum yang seharusnya menegakkan aturan. Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Ismail.
Ismail menambahkan bahwa data yang mereka himpun menunjukkan puluhan perusahaan tambang di Sulawesi Selatan telah habis masa berlaku izinnya, namun tetap beroperasi tanpa hambatan berarti. “Sebagian besar tambang tersebut masih terus beroperasi tanpa dasar hukum yang jelas. Pendapatan daerah pun hilang, sementara masyarakat sekitar hanya mewarisi kerusakan lingkungan,” jelasnya.
LSM Bumi Mentari dan Lemkira mendesak Gubernur Sulsel untuk bertindak lebih konkret, termasuk membentuk tim independen untuk menyelidiki dugaan keterlibatan oknum dalam pembiaran aktivitas tambang ilegal. Mereka juga menyerukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut mengusut aliran dana dari praktik tambang ilegal yang diduga menjadi bancakan segelintir elit dan oknum aparat.
“Kami tidak akan berhenti bersuara. Kalau perlu, kami akan menggalang gerakan masyarakat sipil untuk mendesak pertanggungjawaban Gubernur secara terbuka,” tutup Ilham Lahiya.
Seperti halnya data yang dikantongi aktivis Laskar Merah Putih LMP Muhammad Rijal, terdapat 26 Perusahaan tambang yang ada di Maros dinyatakan telah berakhir izinya namun tetap dilakukan pembiaran aktivitas eksploitasi secara terang terangan, tidak termasuk aktivitas tambang tambang yang dilakukan secara perorangan tanpa izin.
Sementara di daerah Moncongloe Kabupaten Gowa, tak jauh dari Kantor Camat Moncolloe Kabupaten Maros, sejumlah aktivitas tambang golongan C jenis tanah urug. Aktivitasnya di Gowa tapi Truk Materialnya melintasi dan merusak jalan beton di wilayah Maros. Kondisi saat musim kemarau menghasilkan polusi Debu pada musim hujan membuat jalanan berlumpur, kondisi lingkungan warga menghirup udara segar setiap hari sepanjang jalan jelas tercemari oleh debu.
“Buat apa urus ijin, sudah mahal proses penerbitannya makan waktu lama, lebih baik bayar kordinasi dengan aparat polisi aktivitas tambang aman jalan” demikian kata penambang ilegal yang meminta namanya di rahasiakan, mereka mengungkap setoran mereka untuk polres Rp5 Juta sedangkan untuk oknum dirkrisus Polda Rp10 Juta perbulan sudah bisa aman.
JUM