Oleh Redaksi Metrosulsel | Maros, 23 Juni 2025
MAROS — Di tengah keheningan Istana Balla Lompoa, tempat bersemayamnya jejak-jejak kejayaan Kerajaan Marusu, nyala kecil adat dan tradisi masih setia dipelihara. Meski kekuasaan telah lama beralih ke tangan republik, pemangku adat tak pernah benar-benar mundur. Mereka tetap menjaga satu warisan yang tak bisa digantikan: jati diri.
Ketika pagi masih muda, sinar mentari menyelinap lembut ke dalam halaman istana tua bergaya rumah panggung itu. Di atas lantai kayu yang berderit pelan, Drs. Andi Abdul Waris Tajuddin Karaeng Sioja, M.Pd, atau yang lebih dikenal sebagai Karaeng Marusu, menerima tamu-tamunya dengan senyum teduh. Ia bukan lagi seorang raja dalam struktur kekuasaan, tetapi simbol nilai dan pelestari makna.
“Setelah kerajaan Marusu bergabung ke dalam NKRI, kekuasaan memang kami serahkan,” ujarnya. “Tapi tidak dengan adat dan budaya. Itu tetap kami pegang, karena tidak ada satu pun undang-undang yang menyuruh kami melepasnya.”
Adat yang Tak Pernah Mati
Pernyataan Karaeng Marusu bukan sekadar nostalgia. Ia adalah cermin dari eksistensi para pemangku adat yang masih bertahan sejak proklamasi kemerdekaan. Enam pemangku adat di wilayah Marusu, termasuk dirinya, terus menjalankan tugas kultural meski nyaris tanpa dukungan negara.
“Kami ini bukan raja, tapi pelaksana nilai-nilai adat dalam masyarakat,” katanya. “Kami tidak memerintah seperti dahulu, tapi tetap dihormati sebagai penjaga keseimbangan budaya.”
Dulu, para pegawai adat hidup dari hasil tanah pangnganreang, tanah ulayat yang menjadi sumber nafkah. Kini tanah itu telah diambil alih negara. “Dulu ada gaji. Sekarang tidak ada. Pegawai adat bekerja karena nurani, bukan karena bayaran,” tambah Karaeng.
Namun semangat itu belum padam. Beberapa tradisi adat seperti Appalili—prosesi memohon restu sebelum menanam padi—dan Katto Boko, ritual pengesahan kepemilikan lahan, masih dilakukan. Demikian pula tradisi makan bersama yang digelar dengan penuh semangat gotong royong. “Apa yang ada di rumah, dibawa ke pertemuan. Kita makan bersama. Itu bentuk kekeluargaan yang belum hilang,” tuturnya.
Forum Adat Budaya Sebagai Harapan Baru
Kelahiran Forum Pemerhati Adat Budaya Nusantara yang bermarkas di Maros menjadi harapan baru untuk menjaga bara adat tetap menyala. Forum ini diresmikan pada 15 Juni lalu di Batangase, digagas oleh 41 tokoh adat dari berbagai kalangan, dan kini bermarkas di Balla Lompoa Batubassi.
Dalam kunjungannya ke Karaeng Marusu, Ketua Forum, Muh Tahir, beserta pengurus dan anggotanya, menyampaikan tujuan besar mereka: melestarikan budaya, menjadi mediator konflik masyarakat adat, dan memperkuat identitas lokal di tengah arus globalisasi.
“Kami datang untuk meminta restu dan bimbingan. Forum ini lahir dari keresahan bersama atas adat mulai dilupakan. Padahal, di dalamnya ada nilai solidaritas dan kemanusiaan,” katanya.
Antara Kenangan dan Perlawanan Sunyi
Namun menjaga warisan budaya di tengah zaman yang pragmatis bukan perkara mudah. Karaeng Marusu menyinggung soal keluarga bangsawan yang pecah karena perebutan warisan dan gengsi.
“Jangan tiru yang seperti itu. Kita harus bersatu. Adat hanya hidup jika semangat kekeluargaan tetap dijaga,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan kembali pesan Bung Karno saat berkunjung ke Maros pada awal kemerdekaan: bahwa Balla Lompoa tidak boleh kosong. Harus selalu ada yang tinggal, merawat, dan meneruskan nilai-nilainya. “Dari generasi ke generasi, rumah ini tidak pernah dibiarkan kosong. Kami menjaganya bukan untuk nostalgia, tapi untuk masa depan,” kata Karaeng.
Hari itu, di tengah kesibukannya mempersiapkan Gau Maraja, sebuah festival budaya besar yang menghadirkan para bangsawan dan pelestari budaya se-Nusantara, Karaeng Marusu meluangkan waktu menerima kunjungan Forum Pemerhati Adat. Bagi beliau, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah penyerahan estafet.
Simbol Restu, Segelas Air
Di akhir acara, suasana menjadi khidmat. Sebagai bentuk restu, Karaeng Marusu menyodorkan segelas air putih kepada para pengurus forum. Air itu bukan sembarang air. Ia adalah simbol sumpah dan amanah.
“Minumlah, meski hanya seteguk,” ucapnya. “Ini bukan sekadar restu saya, tapi doa dari Karaeng-Karaeng terdahulu. Saya mendoakan semoga forum ini, seperti doa Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah, menjadi tempat yang selalu dirindukan siapa pun yang pernah datang.”
Suasana hening. Para pengurus meneguk air itu satu per satu, sebagai penanda sumpah diam-diam: menjaga adat, memperjuangkan nilai, dan tidak lupa pada akar. Karaeng Marusu pun menutup dengan sebuah harapan:
“Jadikan forum ini bukan milik satu kalangan. Bukalah pintu selebar-lebarnya. Biarlah semua merasa memiliki. Biarlah semua anak cucu kita kelak bisa menengok ke belakang dan berkata: di sinilah kita bermula.”
Menjaga Bara yang Tak Pernah Padam
Di balik senyapnya Saoraja, gema masa lalu masih menggantung di udara. Ada luka karena dilupakan, tapi ada tekad untuk tetap bertahan. Adat bukan sesuatu yang bisa dibeli, dan tak bisa digantikan oleh struktur modern. Ia hidup dalam kebersamaan, dan mati dalam keserakahan.
Karaeng Marusu tahu benar, istana tua ini bisa saja runtuh oleh waktu. Tapi selama ada yang menjaga, nilai-nilai leluhur itu akan terus hidup. Dan selama ada yang berani meneguk air sumpah dari Balla Lompoa, maka Marusu tak akan pernah kehilangan ruhnya.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini disusun berdasarkan kunjungan bersama Karaeng Marusu pada acara silaturahmi Forum Pemerhati Adat Budaya Nusantara di Istana Balla Lompoa, Maros, 23 Juni 2025.
Penulis : Jumadi