Oleh Redaksi Metrosulsel | 16 Juli 2025
MAROS — Proyek ambisius Pemerintah Desa Borikamase, Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, untuk menjadikan desanya sebagai destinasi wisata berbasis potensi lokal kini tinggal cerita. Program Desa Wisata “Beringin”, yang digarap Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sejak 2019, resmi mati suri. Harapan besar untuk mendongkrak Pendapatan Asli Desa (PAD) justru berubah menjadi luka kolektif dan simbol kegagalan pengelolaan desa.
Fasilitas yang dulu dipromosikan seperti kolam pemancingan, gazebo makan, hingga konsep homestay di Dusun Padang Assitang kini terbengkalai tanpa perawatan. Tak ada geliat ekonomi, apalagi kunjungan wisatawan. Yang tersisa hanyalah bangunan reyot, rumput liar, dan mimpi-mimpi yang hancur bersama waktu.
Kepala Desa Borikamase, Aswin, mengakui bahwa kontrak kerja sama BUMDes dengan pemilik lahan hanya berlangsung lima tahun sejak 2019 dan tidak diperpanjang. Namun, ia enggan mengungkap detail soal aliran dana, nilai kerja sama, maupun laporan pendapatan. “Kami masih akan koordinasi dengan bendahara dan pengurus BUMDes,” ujarnya singkat, tanpa memberi kepastian soal transparansi anggaran publik. Aswin hanya menyebut bahwa Inspektorat telah melakukan pemeriksaan aset.
Informasi di lapangan menunjukkan bahwa lahan tambak yang dikelola seluas sekitar 5.000 m² merupakan milik saudara ipar Aswin sendiri, berinisial D. Sementara, empat unit gazebo berukuran 3×6 meter dan 3×2 meter tampak tak terurus, Salah satu gazebo sempat dijadikan warung kopi, dan penjualan alat tulis menulis namun tak bertahan lama dan kini dibiarkan kosong.
Warga menyebut sudah hampir tiga tahun tak ada lagi pengunjung ke lokasi. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa proyek desa wisata tersebut memang sejak awal minim perencanaan matang dan hanya dilandasi semangat sesaat tanpa landasan manajerial yang kuat.
Kasus ini bukan sekadar soal proyek gagal, tapi juga mencerminkan krisis kepercayaan dan lemahnya tata kelola BUMDes. Potensi alam Borikamase—dari lahan pertanian, empang perikanan, hingga pesisir, nyatanya belum disentuh dengan pendekatan profesional dan berkelanjutan.
Kegagalan ini menjadi cermin bagi banyak desa lain di Indonesia. Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan evaluasi menyeluruh, BUMDes yang seharusnya menjadi motor ekonomi desa malah berubah menjadi beban. Yang hilang bukan hanya uang rakyat, tapi juga harapan dan kepercayaan publik.
Kini, masyarakat hanya bisa menunggu: akankah ada perbaikan menyeluruh, atau proyek ini akan dibiarkan tenggelam tanpa jejak pertanggungjawaban.
HAMZAN | JUM