MAROS metrosulsel.com — Selama bertahun-tahun, PT Semen Bosowa Maros (SBM) mendiamkan tunggakan pajak yang nilainya kini menggunung hingga lebih dari Rp 41 miliar. Pemerintah Kabupaten Maros juga bersikap serupa: bungkam, tanpa tindakan tegas. Baru setelah tekanan publik menguat, otoritas daerah mulai bergerak.
Dokumen yang diperoleh metrosulsel.com menunjukkan SBM belum melunasi pajak mineral bukan logam dan batuan serta pajak kendaraan alat berat sejak 2015. Jumlahnya bervariasi menurut sumber, namun data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Maros menyebut angka pasti: Rp 37,47 miliar untuk SBM, ditambah Rp 3,66 miliar dari PT Bosowa Mining—entitas lain dalam grup yang sama. Totalnya menyentuh Rp 41,14 miliar.
Namun hingga Maret 2025, tidak ada upaya penegakan sanksi fiskal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Surat paksa tak kunjung diterbitkan. Penyitaan aset dan pemblokiran aktivitas usaha juga absen. “Kalau aparat daerah tidak berani menindak korporasi besar seperti Bosowa, bagaimana dengan wajib pajak kecil?” kata Ismail Tantu, Ketua Lembaga Monitoring Kinerja Aparatur Negara (LEMKIRA), Sabtu lalu. Ia mengancam akan membawa perkara ini ke Kejaksaan Negeri Maros jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah.
Diam dan Menunggu
Bosowa sendiri memilih diam. Permintaan konfirmasi yang dikirim metrosulsel.com ke manajemen perusahaan tak mendapat jawaban. Di sisi lain, DPRD Maros dan Bapenda dinilai pasif. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang meminta rapat dengar pendapat (RDP) sejak Januari lalu tak mendapat tanggapan.
“Ini soal transparansi fiskal dan keadilan. Jangan sampai publik melihat bahwa ada pembiaran sistematis terhadap perusahaan besar,” ujar Ismail.
Kepala Bapenda Maros, Ferdiansyah, tak menampik situasi itu. Dalam keterangannya tertulis 12 Juni lalu, ia mengakui bahwa Bosowa mulai mengangsur utangnya. Namun, nilainya dianggap jauh dari cukup. “Sejak kerja sama operasional SBM dengan Indocement pada September 2022, memang tidak ada penambahan piutang baru. Tapi angsuran yang dibayarkan sangat minim,” ujarnya.
Pemerintah, kata dia, telah kembali melayangkan surat tagihan resmi dan tengah menyiapkan nota kesepahaman dengan Kejaksaan Negeri Maros untuk memperkuat mekanisme penagihan.
Ujian Legitimasi Fiskal. Data rinci Bapenda menunjukkan tunggakan pajak SBM terbanyak terjadi pada 2020, yakni lebih dari Rp 11,4 miliar. Tahun-tahun sebelumnya pun mencatat nilai signifikan. Rinciannya sebagai berikut:
2015: Rp 2,1 miliar, 2016: Rp 7,2 miliar, 2017: Rp 6,1 miliar, 2018: Rp 5,6 miliar, 2019: Rp 3,8 miliar, 2020: Rp 11,4 miliar, 2021: Rp 934 juta
Sedangkan PT Bosowa Mining menunggak sejak 2012, dengan akumulasi utang Rp 3,66 miliar. Dalam keterangan resminya, Bapenda menyebut sudah dua kali menerbitkan surat teguran kepada Bosowa. Namun, proses hukum yang lebih keras belum dijalankan. “Kami sedang upayakan kerja sama dengan kejaksaan agar bisa lebih kuat secara hukum,” kata Ferdiansyah.
Ancaman Erosi Kepercayaan, Bosowa bukan pemain kecil. Sebagai salah satu penguasa pasar semen di Indonesia timur, keberadaannya strategis. Namun dengan tunggakan sebesar itu, kontribusinya pada pendapatan asli daerah justru menjadi pertanyaan besar.
Pengamat kebijakan publik , Syafaruddin Ahmad. SH, menilai sikap pasif pemerintah bisa merusak legitimasi fiskal. “Jika pemerintah daerah tidak adil dalam menagih pajak, maka kepercayaan publik akan runtuh. Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal wibawa negara di mata rakyat,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Maros, kini dalam sorotan tajam. Tanpa aksi nyata dan penegakan hukum yang konsisten, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk—bahwa korporasi besar bisa lolos dari tanggung jawab, selama publik belum bersuara.
Reporter: Redaksi METROSULSEL
Editor: Jumadi
Sumber: Bapenda Maros, Arsip Pajak Daerah, Wawancara Publik