Amnesty Soroti Peran TNI Tangani Narkotika di Laut: “Itu Wewenang Polisi, Bukan Militer”

Reporter : Syukri

JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Hamid Usman, menyoroti keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanggulangan narkotika, khususnya di wilayah perairan. Menurutnya, hal tersebut telah melampaui batas kewenangan militer dan seharusnya menjadi tanggung jawab penuh Kepolisian Republik Indonesia.

Pernyataan itu disampaikan Hamid dalam konferensi pers yang digelar di Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Salemba, Senin (21/7), yang juga membahas perkembangan kasus Hasto Kristiyanto dan putusan perkara Tom Lembong.

Hamid menjelaskan, Amnesty International tengah memantau secara ketat pelaksanaan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) sejak April hingga Juni 2025. Ia menyebut sudah ada indikasi yang mengkhawatirkan terkait perluasan peran TNI di luar konteks pertahanan.

“Contohnya penanggulangan narkotika, padahal dalam Pasal 7 mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP), bidang tersebut sudah dihapus. Namun praktiknya, TNI — seperti TNI AL — tetap dilibatkan dalam urusan narkotika. Ini bukan ranah militer,” tegas Hamid.

Ia menekankan bahwa semua bentuk kejahatan pidana, baik terjadi di darat maupun di laut, merupakan domain Polri. “Kalau menyangkut pidana seperti narkotika, itu jelas wewenang kepolisian. Keterlibatan TNI hanya relevan jika menyangkut kedaulatan negara, seperti pelanggaran batas wilayah oleh kapal asing, dan itu pun harus melalui keputusan pemerintah serta persetujuan DPR,” katanya.

Hamid mengingatkan bahwa pembiaran keterlibatan militer dalam isu-isu sipil bisa mengarah pada kembalinya peran dominan TNI dalam urusan domestik, sebagaimana terjadi di masa lalu.

“Kekhawatiran kami adalah revisi UU TNI ini justru membuka ruang kembali bagi perluasan peran militer di luar tugas pokoknya dalam bidang pertahanan,” pungkasnya.