MAKASSAR — Suasana politik kampus Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (FH UMI) memanas setelah pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2025–2026 menuai polemik. Sejumlah mahasiswa menolak hasil penetapan Ketua BEM yang dinilai sarat intervensi birokrasi fakultas.
Pemilihan yang berlangsung pada Rabu, 1 Oktober 2025, diikuti oleh empat pasangan calon, masing-masing memperoleh suara beragam. Berdasarkan hasil penghitungan, Muammar serta Indra Atma Wijaya–Akbar masing-masing meraih satu suara, sementara pasangan Annang Nirwan dan Irfan Sukrama memperoleh tiga suara. Dari delapan suara yang sah, hasil akhirnya berimbang antara dua kandidat teratas.
Kebuntuan itu memunculkan langkah baru dari pihak fakultas. Pada Kamis (2/10/2025), birokrasi fakultas menggelar fit and proper test terhadap dua calon dengan hasil imbang, yakni Annang Nirwan dan Irfan Sukrama. Namun, langkah tersebut dilakukan tanpa koordinasi dengan panitia penyelenggara pemilihan.
Tak lama kemudian, Dekanat FH UMI mengeluarkan surat keputusan bernomor 1022/D 12/FH-UMI/X/2025 tertanggal 3 Oktober 2025, yang menetapkan Annang Nirwan sebagai Ketua BEM FH UMI terpilih. Keputusan ini menimbulkan gelombang penolakan dari sejumlah mahasiswa yang menilai proses tersebut tidak sesuai mekanisme demokratis mahasiswa.
Menteri PTKP BEM FH UMI, Muh. Alfian, menyayangkan langkah birokrasi yang dianggap tidak netral. “Birokrasi fakultas seharusnya menjadi pihak pengayom, bukan turut serta dalam gelanggang pemilihan mahasiswa,” ujarnya.
Alfian menilai, dengan hasil imbang, seharusnya panitia penyelenggara melaksanakan pemilihan putaran kedua tanpa campur tangan pihak fakultas. Ia menegaskan bahwa Ketua BEM harus dipilih oleh mahasiswa, bukan ditentukan melalui keputusan birokrasi.
“Kami mendesak agar dilakukan pemilihan ulang dan melibatkan unsur mahasiswa secara lebih luas, tanpa intervensi dari pihak fakultas,” tegasnya.
Ia juga berharap Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dapat turun tangan untuk menengahi situasi agar tidak menimbulkan ketegangan di internal kampus.
“Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi kampus dan mencederai marwah organisasi mahasiswa,” pungkas Alfian.
HAMZAN