Oleh Redaksi Metrosilsel I 24 Juni 2025
MAROS — LSM Pekan 21 menyoroti tajam independensi aparat hukum di Kabupaten Maros yang dinilai sarat intervensi dan pembiaran terhadap ketidakadilan. Sekretaris Jenderal LSM Pekan 21, Amir Kadir, menyebut kondisi penegakan hukum di daerah ini selaras dengan peringatan Presiden Prabowo Subianto soal lemahnya integritas lembaga peradilan.
“Presiden sudah mengingatkan: percuma polisi dan jaksa bekerja hebat kalau hakim membebaskan tersangka. Ungkapan itu sangat relevan dengan situasi di Maros,” kata Amir kepada wartawan, Senin (23/6).
Menurut Amir, penanganan kasus yang melibatkan elite lokal—mulai dari dugaan korupsi, konflik agraria, hingga proyek mangkrak—seolah jalan di tempat. Ia menyebut ada pola “pengaburan hukum” yang tercermin dari sikap diam, proses lambat, dan dugaan perlindungan terhadap pihak tertentu oleh oknum di lembaga peradilan.
“Kami bukan sekadar menduga, tapi menyaksikan langsung bagaimana kasus-kasus yang menyangkut rakyat dibekukan, sementara aktor kuat tetap kebal hukum. Ini jelas mencederai rasa keadilan,” ujarnya.
Amir menegaskan bahwa kerja keras kepolisian dan kejaksaan tak akan berarti jika di ujungnya pengadilan tidak berpihak pada kebenaran. “Jika ‘Yang Mulia’ di Maros gagal menjaga marwah keadilan, kepercayaan publik terhadap seluruh sistem hukum bisa runtuh,” kata dia.
Pernyataan Amir merujuk langsung pada pernyataan Presiden Prabowo dalam forum nasional Mei lalu: “Percuma polisi dan jaksa hebat kalau hakim membebaskan tersangka korupsi.”
Nada serupa disampaikan Ismail Tantu, aktivis dari Lembaga Monitoring Kinerja Aparatur Negara. Ia mengaku kerap mendengar istilah “Yang Mulia” digunakan dalam konteks penegakan hukum, namun tidak pernah mendapat penjelasan konkret soal siapa atau apa yang dimaksud.
“Kami mendesak Komisi Yudisial dan lembaga pengawas peradilan untuk melakukan evaluasi menyeluruh, dari Mahkamah Agung hingga hakim tingkat daerah. Istilah ‘intervensi Yang Mulia’ mencerminkan potret buruk penegakan hukum hari ini,” ujar Ismail.
Ia juga menyoroti penetapan tersangka terhadap pejabat Diskominfo Maros berinisial MT dalam kasus dugaan korupsi proyek internet senilai Rp1 miliar. Ismail menyebut proses tersebut janggal karena hanya satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka.
“Sehebat apa MT sampai bisa memutuskan proyek itu sendirian dan menikmati korupsi itu sendirian? Saya meyakini MT tidak mungkin bermain sendiri. Maka wajar bila publik mencium adanya praktik tebang pilih,” tegas Ismail.
Ia mendesak Kejaksaan Negeri Maros untuk mengembangkan penyelidikan ke pejabat lain di tingkat lebih tinggi. “Kalau hanya MT yang dikorbankan, ini bukan penegakan hukum, tapi akrobat hukum,” pungkasnya.
BERBAGAI SUMBER I JUM