SULAWESI SELATAN — Rentetan banjir bandang yang melanda Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai di Sulawesi Selatan mengungkap lemahnya sistem peringatan dini di daerah tersebut. Minimnya integrasi data, keterlambatan respons, dan regulasi yang belum mendukung pemutakhiran teknologi menyebabkan masyarakat kehilangan waktu krusial untuk menyelamatkan diri.
Bencana yang terjadi dalam sepekan terakhir merendam ratusan rumah dan memutus akses jalan di beberapa titik. Di Kabupaten Bantaeng, air bah datang secara tiba-tiba tanpa peringatan. “Kami baru tahu saat air sudah masuk rumah,” kata Daeng Haris (42), warga Kelurahan Pallantikang, Bantaeng, Kamis (3/7/2025).
Sejumlah kabupaten di Sulsel masih mengandalkan metode pemantauan manual untuk mengawasi potensi bencana hidrometeorologi. Padahal, sejumlah teknologi seperti sensor kelembaban tanah dan pemantauan debit sungai berbasis Internet of Things (IoT) telah digunakan di provinsi lain untuk mempercepat sistem peringatan dini.
Ketua Forum Komunitas Hijau Sulsel, Achmad Yusran, mengatakan bahwa sebagian besar kabupaten di Sulsel belum memiliki sistem terpadu antara pemantauan hulu dan distribusi informasi ke masyarakat di hilir. “Sinyal peringatan tidak sampai ke warga. BMKG sudah memberi data potensi hujan ekstrem, tetapi tidak direspons secara cepat dan terstruktur oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Di Kabupaten Bulukumba, misalnya, data citra satelit menunjukkan deforestasi cukup masif di kawasan hulu. Namun, tidak ada sistem yang mengaitkan kondisi tersebut dengan potensi risiko banjir di wilayah hilir. “Koordinasi antarlembaga belum berjalan optimal,” kata Yusran.
Solusi Jangka Pendek dan Panjang
Yusran mengusulkan pemerintah kabupaten memasang sensor pemantauan air dan tanah di daerah rawan, terutama di wilayah sungai-sungai utama seperti Sungai Calendu (Bantaeng) dan Sungai Tangka (Sinjai). Selain itu, platform digital lokal semacam PetaBencana.id versi Sulsel dapat digunakan untuk menyebarkan notifikasi bencana secara otomatis kepada warga melalui SMS atau aplikasi.
Namun, menurut Yusran, kunci utama ada pada kebijakan. Ia menilai perlunya revisi peraturan daerah agar pemerintah wajib memperbarui sistem peringatan dini setiap tiga tahun. “Saat ini, tidak ada aturan yang mengikat, sehingga banyak sistem yang tertinggal dan tidak diperbarui,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar pesan darurat dibakukan. “Kata ‘siaga’ terlalu umum. Harus ada instruksi jelas, seperti ‘evakuasi dalam satu jam ke titik A’,” katanya.
Peran Masyarakat
Selain perangkat teknologi, pelibatan masyarakat juga penting. Yusran mendorong pembentukan kelompok relawan pemantau debit air dari unsur petani dan pemuda di wilayah hulu. Mereka dapat melaporkan kondisi sungai melalui grup komunikasi digital yang dikendalikan BPBD kabupaten.
Simulasi evakuasi juga dinilai penting dilakukan secara berkala di wilayah-wilayah yang rawan bencana. “Jika pelatihan dilakukan rutin, warga tidak panik saat kejadian sesungguhnya,” ujarnya.
Evaluasi dan Pilot Project
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan diminta mengevaluasi kesiapan infrastruktur peringatan dini di seluruh kabupaten/kota. Yusran menilai perlu adanya proyek percontohan di satu daerah, seperti Kabupaten Bantaeng, untuk menguji sistem terpadu sebelum direplikasi ke daerah lain.
“Banjir tidak bisa dihindari, tetapi jumlah korban bisa ditekan jika kita memiliki sistem yang bekerja. Bencana bukan soal alam semata, tapi juga soal kesiapan,” pungkasnya.
KINK