Oleh Redaksi Metrosulsel | 4 Juli 2025
MAROS — Suasana pembukaan acara budaya Gau Maraja di Lapangan Pallantikang, Maros, diwarnai kekecewaan dari puluhan kepala desa. Para pemilik lambang kehormatan negara, Burung Garuda, merasa tidak dihargai setelah ditempatkan di kursi tenda terbuka bersama penari dan pelaku UMKM, sementara tamu lain seperti lurah dan anggota dewan menikmati fasilitas VIP.
Kekecewaan itu memuncak setelah diketahui 80 kepala desa yang diundang, sebagian besar justru memilih berdiri, membaur dengan masyarakat, bahkan meninggalkan lokasi sebelum acara dimulai.
“Masyarakat kami melihat kami disejajarkan dengan penari dan pelaku UMKM. Saya sudah sampaikan langsung ke panitia dan Kepala Badan PMD, mereka hanya bisa minta maaf,” ujar Muhammad Arsyad, Kepala Desa Timpuseng, Kecamatan Camba.
Arsyad menyayangkan panitia yang menurutnya gagal memahami simbol dan posisi kepala desa sebagai pemegang mandat rakyat. Ia menegaskan bahwa hanya dua jabatan di Maros yang berhak menyandang Lambang Burung Garuda, yaitu Bupati dan Kepala Desa.
“Kami menghargai pejabat lain, termasuk anggota dewan, itu wajar. Tapi menempatkan lurah di atas kepala desa? Itu tidak pantas. Kami dipilih langsung oleh rakyat,” tegasnya.
Meski memilih pulang sebelum acara inti, Arsyad berharap kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Ia meminta agar panitia acara budaya dan pemerintah daerah lebih sensitif terhadap simbol dan etika birokrasi, agar tidak mencederai martabat pejabat desa di hadapan publik.
MUH ARFAH