MAROS I metrosulsel.com – Pemerintah Kabupaten Maros akhirnya menggandeng Kejaksaan Negeri dalam upaya mengejar para penunggak pajak bandel. Langkah ini diambil setelah bertahun-tahun potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersandera akibat utang pajak dari sektor-sektor strategis yang justru menjadi andalan daerah.
Penandatanganan nota kesepahaman antara Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan Kejari Maros dilakukan Selasa, 17 Juni 2025, di Lapangan Pallantikang, Kompleks Kantor Bupati Maros. Plt Kepala Bapenda Maros, M. Ferdiansyah, menyebut kerjasama ini untuk menguatkan penagihan pajak lewat jalur hukum.
“Kami akan kawal hingga tuntas. Jika pendekatan persuasif gagal, Kejaksaan sebagai pengacara negara akan turun langsung,” tegas Ferdiansyah.
Kepala Kejari Maros, Muhammad Zulkifli Said, menyatakan pihaknya siap memberi bantuan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara (Datun) untuk menyelamatkan keuangan negara, “Kami tidak akan tinggal diam terhadap wajib pajak yang membandel, ” kata Zulkifli.
Data Bapenda menunjukkan piutang pajak terbesar berasal dari sektor tambang dan restoran. Hanya dua sektor ini saja yang menyumbang potensi PAD macet sebesar Rp 90 miliar, sebagian besar menumpuk sejak lima hingga sepuluh tahun terakhir. Di antaranya adalah tunggakan jumbo PT Semen Bosowa Maros (SBM) yang mencapai Rp 41,14 miliar, menjadikannya perusahaan penunggak pajak terbesar di Kabupaten Maros.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh media ini, SBM belum pernah melunasi kewajiban Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) serta pajak kendaraan alat berat sejak 2015. Tunggakan ini terdiri dari: PT SBM: Rp 37,47 miliar dan PT Bosowa Mining (anak perusahaan): Rp 3,66 miliar, Total: Rp 41,14 miliar
Yang mengejutkan, hingga Maret 2025, belum ada langkah hukum progresif seperti surat paksa, penyitaan aset, atau pemblokiran kegiatan usaha, padahal payung hukumnya—UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa—jelas tersedia.
“Kalau aparat daerah tak berani menindak korporasi besar seperti Bosowa, bagaimana nasib wajib pajak kecil?” ujar Ismail Tantu, Ketua Lembaga Monitoring Kinerja Aparatur Negara (LEMKIRA).
Manajemen Bosowa bungkam. Permintaan konfirmasi tak mendapat respons. Sementara DPRD Maros tampak kehilangan daya kritis dan tutup mulut. Pengamat kebijakan publik, Syafaruddin Ahmad, SH, menyebut pembiaran ini berisiko merusak legitimasi fiskal pemerintah daerah. “Jika pemerintah tidak adil dalam menagih pajak, kepercayaan publik runtuh. Ini bukan sekadar angka, tapi soal keadilan dan wibawa negara,” ujarnya.
Kerja sama dengan kejaksaan menjadi babak baru dalam penegakan pajak di Maros. Tapi Ismail Tantu mengingatkan, publik menagih realisasi, bukan sekadar seremoni. “Kalau dilakukan serius dan profesional, tidak ada alasan perusahaan seperti Bosowa tak bisa ditindak. Kami akan terus memantau dan mendesak,” ujarnya.
Ancaman defisit APBD yang terus menghantui, akuntabilitas fiskal pemerintah daerah kini dipertaruhkan. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka publik berhak menggugat, bukan hanya soal uang, tapi juga prinsip.
Reporter: Tim Redaksi
Editor: Jumadi
Sumber: Bapenda Maros, Kejari Maros, Arsip Pajak Daerah, Wawancara Tokoh Publik