Serangan udara Israel ke Iran tak semata soal nuklir. Benjamin Netanyahu tampaknya tengah bermain api dengan tujuan yang lebih ambisius: mengganti rezim Republik Islam Iran
Tim Redaksi I Metrosulsel I 20 Juni 2025
TEL AVIV – Pukul 01.30 dini hari waktu Teheran, Jumat, 13 Juni 2025. Ledakan bertubi-tubi mengguncang wilayah barat Iran. Kilatan cahaya membelah langit, diikuti raungan sirene dan hiruk-pikuk warga berhamburan keluar rumah. Bukan kejadian biasa. Serangan ini merupakan bagian dari rangkaian ofensif militer Israel ke sejumlah fasilitas strategis Iran, yang disebut-sebut berkaitan dengan program nuklir negara itu.
Namun, ada motif lain di balik serangan ini. Lebih dari sekadar menghancurkan instalasi nuklir, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tampaknya tengah menyusun langkah yang jauh lebih besar: menggulingkan Republik Islam Iran.
Dalam pernyataannya beberapa jam setelah serangan, Netanyahu menyampaikan kalimat yang mengejutkan dunia diplomasi internasional. “Waktunya telah tiba bagi rakyat Iran untuk bersatu di bawah bendera Iran dan peninggalan sejarahnya, dengan memperjuangkan kemerdekaan dari rezim yang jahat dan menindas,” katanya dalam siaran langsung dari Yerusalem.
Pernyataan itu ditafsirkan banyak pihak sebagai isyarat terbuka atas dukungan Israel terhadap pergantian rezim di Teheran. Sumber diplomatik di Washington yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa retorika Netanyahu kali ini tidak lagi berkisar pada ancaman nuklir semata, tetapi langsung menohok ke jantung politik Iran.
“Netanyahu sadar, selama Republik Islam berdiri, Iran akan tetap menjadi ancaman ideologis dan militer bagi Israel. Karena itu, menghentikan program nuklir saja tak cukup. Ia ingin rezim itu runtuh,” ujar seorang analis politik Timur Tengah dari London School of Economics.
Dapur Ketidakpuasan di Dalam Negeri Iran
Kalkulasi Netanyahu boleh jadi tidak tanpa alasan. Iran sedang tidak baik-baik saja. Inflasi melonjak, mata uang rial merosot, dan lapangan kerja kian langka. Di banyak kota besar, unjuk rasa sporadis kerap meletus, dipicu oleh isu ekonomi hingga pelanggaran hak asasi manusia. Isu kebebasan berpendapat, hak perempuan, dan perlakuan terhadap kelompok minoritas seperti Kurdi dan Baháʼí terus jadi sorotan publik internasional.
Banyak warga Iran, terutama generasi muda, merasa terasing dari nilai-nilai resmi negara yang berbasis pada interpretasi konservatif Syiah. “Kami ingin hidup normal, seperti orang-orang di luar sana. Tanpa pengawasan moral polisi, tanpa larangan ini-itu,” kata Leila, mahasiswa sosiologi di Teheran, kepada media lokal IranWire, sehari setelah serangan Israel.
Skema Rezim Change?
Sejumlah pengamat memperkirakan bahwa Israel, dalam hal ini Netanyahu, tengah berharap serangan militer ini menjadi katalis. Ledakan-ledakan bukan hanya merusak fasilitas, tapi juga menyalakan api kemarahan di tengah masyarakat yang sudah frustrasi. Jika kemarahan ini meluas, bukan tak mungkin Teheran akan menghadapi gelombang ketidakstabilan sosial yang bisa membuka jalan bagi perubahan kekuasaan.
Namun strategi ini berisiko tinggi. Penggulingan rezim bukan perkara mudah, apalagi di negara dengan jaringan keamanan dan pengaruh militer yang kuat seperti Iran. Garda Revolusi Islam, pasukan elite yang setia pada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, diperkirakan akan mengerahkan segala daya untuk menjaga status quo.
Tak sedikit pula pengamat yang menyebut strategi Netanyahu ini sebagai perjudian politik. “Jika gagal, Israel akan dituduh sebagai pemicu ketegangan regional. Jika berhasil, Timur Tengah bisa menghadapi kekacauan baru,” ujar Dalia Dassa Kaye, pakar hubungan internasional dari Rand Corporation.
Diamnya Dunia
Hingga kini, belum ada respons tegas dari negara-negara besar terkait pernyataan provokatif Netanyahu. Amerika Serikat, sekutu utama Israel, menyatakan bahwa mereka “mendukung hak Israel membela diri”, namun tak memberikan komentar atas wacana perubahan rezim di Iran.
Di sisi lain, Teheran bersumpah akan membalas. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran menyebut serangan itu sebagai “agresi terang-terangan dan pelanggaran hukum internasional”. Sejumlah milisi pro-Iran di Irak dan Suriah mulai meningkatkan kesiagaan.
Apakah serangan ini akan menjadi awal dari perang terbuka atau justru mempercepat perubahan geopolitik di kawasan, masih menjadi tanda tanya besar.
Yang jelas, Benjamin Netanyahu telah melangkah keluar dari narasi nuklir. Ia kini bermain di ranah yang lebih berbahaya: menggulingkan sebuah negara.
Editor : JUMADI