Dapur Kotor Sang Raja Sawit: Triliunan Rupiah di Balik Krisis Minyak Goreng

Dapur Kotor Sang Raja Sawit: Triliunan Rupiah di Balik Krisis Minyak Goreng

JAKARTA | metrosulsel.com – Dalam salah satu penindakan korupsi paling ambisius pasca reformasi sektor pangan, Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah menyita dana senilai Rp11,8 triliun. Uang yang disita tersebut diyakini merupakan hasil praktik korupsi di lingkungan industri kelapa sawit, terutama terkait dengan izin ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang disetujui bagi raksasa industri Wilmar Group.

Dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung pada Selasa, 18 Juni 2025, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengungkapkan bahwa penyitaan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pemulihan kerugian negara akibat penyalahgunaan izin ekspor yang dilakukan pada 2021–2022.

“Ini adalah salah satu penyitaan terbesar dalam sejarah penanganan kasus korupsi. Nilai total mencapai lebih dari sebelas triliun rupiah,” ucap Febrie.


Penyitaan dilakukan melalui pemblokiran rekening, pembekuan aset likuid, serta pengambilalihan aliran dana yang mengalir ke rekening pribadi dan perusahaan cangkang, sebagai bagian dari skema manipulasi dan penghindaran kewajiban pembayaran bea keluar.

Penyelidikan mengungkap bahwa sejak Desember 2021, pemerintah mulai mengatur distribusi CPO untuk mengatasi krisis minyak goreng dalam negeri. Wilmar Group, bersama beberapa perusahaan besar lainnya, mendapatkan izin ekspor dengan syarat harus memasok minyak goreng melalui mekanisme Domestic Market Obligation (DMO). Namun, pada Januari hingga Maret 2022, perusahaan-perusahaan tersebut diduga menyalahgunakan fasilitas ekspor dengan mengekspor CPO dalam volume besar, sementara kewajiban pasokan dalam negeri diabaikan.
Penelusuran dokumen dan rekaman transaksi mencatat bahwa izin ekspor yang diberikan tidak selalu memenuhi kriteria DMO. Seiring dengan penetapan izin ekspor, sejumlah pejabat di Kementerian Perdagangan disebut-sebut menerima gratifikasi untuk memuluskan dokumen dan mengesahkan mekanisme ekspor yang merugikan negara.

Pada Mei 2022, Kejaksaan mulai menetapkan tersangka dari kalangan kementerian dan sektor swasta. Penyelidikan pun menggulir intensif hingga Juni–Desember 2023, dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak jejak uang yang mengalir ke rekening afiliasi dan perusahaan cangkang di luar negeri.

Hingga pertengahan 2025, sejumlah individu kunci telah ditetapkan sebagai tersangka: Indrasari Wisnu Wardhana, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, yang diduga menerima gratifikasi untuk memuluskan izin ekspor, MPT (inisial), Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, yang terbukti menghubungkan pihak korporasi dengan pejabat tinggi. SMA (inisial), General Manager Ekspor Wilmar Group, yang tersandung rekayasa data pelaporan DMO dan PTP (inisial), Direktur PT Permata Hijau Group, sebagai pelaku dalam jaringan kartel sawit.

Selain itu, penyelidikan juga mendalami peran oknum pejabat internal di Badan Karantina Pertanian dan Bea Cukai yang diduga membuka jalan bagi ekspor ilegal. Kejaksaan tidak menutup kemungkinan untuk menetapkan prinsip corporate criminal liability terhadap Wilmar Group bila terbukti pelanggaran dilakukan secara sistematis.

Langkah penyitaan dana sebesar Rp11 triliun ini mendapat sorotan dari sejumlah pegiat antikorupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyambut baik langkah strategis Kejaksaan, namun menekankan agar penindakan pidana terhadap para pelaku, terutama pejabat tinggi, dilakukan secara maksimal. “Kita harus memastikan tidak hanya penyitaan ini, tetapi juga penindakan pidana yang berat agar praktik korupsi di sektor strategis tidak terjadi lagi,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Meski demikian, juru bicara Wilmar Indonesia menyatakan bahwa perusahaan siap bekerja sama dengan proses hukum dan membantah adanya keterlibatan sistemik dalam praktik korupsi. Dalam laporan keuangannya, Wilmar International Limited mencatat laba bersih mencapai USD 2,4 miliar pada 2022, menegaskan posisi mereka sebagai salah satu eksportir CPO terbesar di dunia.

Kronologi Kasus: Pada Desember 2021: Pemerintah mengatur distribusi CPO di tengah lonjakan harga minyak goreng. Izin ekspor diberikan dengan syarat DMO, Januari–Maret 2022: Harga minyak goreng naik tajam; terungkap penyalahgunaan fasilitas ekspor oleh beberapa korporasi, April 2022: Izin ekspor CPO dicabut sementara dan tim pengawas lintas kementerian dibentuk. Penyelidikan awal dimulai, Mei 2022: Beberapa pejabat Kementerian Perdagangan ditetapkan tersangka; nama-nama korporasi besar mulai muncul dalam dakwaan, Juni–Desember 2023: Pemeriksaan saksi intensif, pelacakan aliran dana oleh PPATK, Maret 2025: Dana senilai lebih dari Rp6 triliun dibekukan di sejumlah rekening afiliasi dan Juni 2025: Total penyitaan mencapai Rp11 triliun, menyertakan uang tunai, saham, properti, dan aset investasi.

Kasus penyitaan Rp11 triliun ini merupakan tanda bahwa aparat penegak hukum telah berani mengungkap dan menindak tuntas praktik korupsi lintas sektor yang merugikan negara. Dengan latar belakang krisis minyak goreng dan pelanggaran izin ekspor CPO, kasus ini membuka tabir jaringan mafia korporasi dan pejabat tinggi. Namun, tantangan masih ada, terutama dalam menetapkan tanggung jawab pidana terhadap masing-masing aktor, baik individu maupun korporasi.

Redaksi | Metrosulsel
Editor : Jumadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *