Puskesmas Rumah Sakit Tanpa Dokter, Nyawa Pasien Jadi Taruhan

DOKTER ON CALL PASIEN TERLANTAR

Oleh Redaksi Metrosulsel I 27 Juni 2025

MAROS — Budaya “on call” dokter di sejumlah puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah di Kabupaten Maros Dr Palaloi menyeret layanan kesehatan ke titik nadir. Alih-alih berjaga penuh sesuai jam dinas, banyak dokter justru lebih sering berada di luar fasilitas pelayanan. Instruksi medis cukup lewat sambungan telepon, sementara pasien dibiarkan tanpa pemeriksaan langsung.

Sistem jaga dokter yang seharusnya dibagi dalam tiga sif—pagi, sore, dan malam—kerap tak berjalan semestinya. Perawat atau koas (co-assistant) justru mengambil alih diagnosis awal. Laporan kemudian disampaikan lewat telepon kepada dokter, yang lalu memberikan instruksi tindakan atau resep. Tanpa melihat pasien, tanpa menyentuh denyut nadi, keputusan medis diambil dalam gelap.

“Kalau sampai terjadi kesalahan atau pasien meninggal, siapa yang bertanggung jawab? Perawat yang mengeksekusi, atau dokter yang hanya memberi perintah dari jauh?” ujar Muhammad Taslim, S.Kep., S.H., Wakil Ketua Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan DPD Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Maros, kepada wartawan.

Kasus terbaru terjadi di Puskesmas Bantimurung. Seorang korban kecelakaan lalu lintas tergeletak selama tiga jam tanpa tindakan medis. Pasien tak bisa dirujuk karena dokter yang seharusnya berjaga tak kunjung datang.

Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran prosedur internal. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter wajib memberikan pelayanan sesuai standar profesi, termasuk melakukan pemeriksaan langsung sebelum mengambil keputusan medis.

“Kalau dokter absen tapi tetap memberi instruksi, itu bukan sekadar kelalaian—itu bisa masuk kategori malpraktik. Apalagi kalau dia ASN. Bisa dijerat sanksi disiplin berat,” tegas Taslim, yang juga penasihat hukum DPD PPNI Maros.

Dokter berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang mangkir dari tugas bisa dijerat Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Sanksinya mulai dari teguran tertulis, pemotongan tunjangan, hingga pemberhentian tidak hormat.

Secara etis, praktik ini juga bertabrakan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Pasal 7 dan 9 menegaskan bahwa dokter wajib melakukan pemeriksaan langsung dan tak boleh menyerahkan penanganan pasien kepada tenaga yang tak berwenang. Jika pasien meninggal akibat keputusan medis jarak jauh, dokter dapat dikenai sanksi etik, disiplin, bahkan pidana berdasarkan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian.

Sementara itu, pasien terus berdatangan. Fasilitas medis berdiri, tapi dokter tak kunjung hadir. Layanan yang mestinya menyelamatkan nyawa justru berubah menjadi pertaruhan maut. Di ruang tunggu puskesmas, waktu dan harapan mengering, bersama nyawa yang mungkin terlambat diselamatkan.

Taslim menambahkan, regulasi yang ada—baik Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan maupun Permenkes Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan—tidak secara spesifik mengatur praktik on call. Sistem ini hanya dibenarkan jika fasilitas kesehatan mengalami kekurangan tenaga medis, itu pun terbatas di luar jam operasional dan dengan ketentuan: dokter harus tiba di lokasi pelayanan maksimal 30 menit setelah dihubungi.

Apa yang dilakukan perawat di Puskesmas Bantimurung, menurut Taslim, sudah sesuai prosedur: melakukan koordinasi dengan Dokter Penanggung Jawab Pasien DPJP sebelum menjalankan tindakan.

Namun begitu, Taslim menegaskan perlunya evaluasi total terhadap kebijakan on call di Maros. Pasalnya, perawat justru menanggung beban kerja dokter, tanpa mendapatkan hak yang semestinya, termasuk jasa pelayanan.

“Pelimpahan tugas tanpa pelimpahan hak adalah bentuk ketidakadilan struktural. Seharusnya, setiap pelimpahan beban kerja juga dibarengi dengan pelimpahan hak atas beban tersebut,” tutupnya.

MUHAMMAD ARFAH I JUMADI